Oleh Frans Obon
WARGA Desa Ilepati menyerbu lahan pertanian warga Desa Bugalima, Kecamatan Adonara Barat, Flores Timur. Padahal sudah 32 tahun lamanya, warga Desa Bugalima mengerjakan lahan tersebut dan di atas lahan telah ditanami berbagai tanaman komoditas. Bagusnya adalah warga Bugalima tidak ingin menggunakan kekerasan menghadapi konflik tanah pertanian tersebut, meski warga Ilepati mempersenjatai diri mereka dengan parang, tombak, panah, dan perisai.
Penyerobotan ini dipicu oleh sebuah klaim sejarah masa lalu bahwa lahan yang dikelola warga Bugalima adalah milik Ilepati. Meski telah dikelola 32 tahun dan telah menikmati hasilnya, Bugalima terpaksa menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka terlibat dalam konflik tanah pertanian dengan Ilepati. Nyawa mereka juga terancam.
Kalau kita melihat riwayat konflik pertanahan di Flores umumnya, sebagian besar didasarkan pada sejarah masa lampau.
Sejarah yang tidak tertulis itu menjadi alasan pokok sebuah desa atau kampung menyerbu lahan pertanian kampung atau desa lainnya. Masalahnya adalah sejarah seperti ini tentu saja didasarkan pada riwayat lisan. Tidak tertulis. Akibatnya versi bervariasi. Versi siapa yang dipercaya, juga susah. Karena bukti-bukti historis lisan ini besar kemungkinan diputarbalikkan.
Penyerobotan yang disertai dengan ancaman kekerasan ini menjadi sulit mencapai titik temu seandainya pihak korban tidak melakukan perlawanan dengan cara kekerasan. Pihak penyerobotan sudah dengan tahu dan mau serta menggunakan kekerasan untuk mengambil lahan sengketa.
Kalau tidak ada perlawanan dengan cara kekerasan, maka pihak penyerobotan akan tetap bertahan dan bercokol. Sampai kapapun. Bahkan mereka merasa sudah menang dan di atas angin. Kalau seandainya diselesaikan lewat jalur hukum, maka pihak penyerobot yang sudah menduduk tanah sengketa agak sulit meninggalkan lahan tersebut, yang juga telah mereka jadikan kebun.
Yang kita harapkan sekarang adalah peran pemerintah. Pengalaman di beberapa daerah, seperti Manggarai misalnya, karena tidak adanya sikap tegas pemerintah, maka kasus seperti ini berlarut-larut. Pihak penyerobot tetap mengelola lahan sengketa, membabat habis tanaman milik warga sebelumnya.
Sikap diam pemerintah mungkin memberi citra bahwa pemerintah tidak mau konflik dengan rakyatnya dan citra pemerintahan menjadi baik di mata rakyat. Perhitungan politis seperti ini tentu saja racun bagi para petani.
Dalam kasus Ilepati, kita mendesak pemerintah Flores Timur agar prakarsa yang dibangun pemerintah dengan membentuk tim penyelesaian konflik berjalan dan bekerja maksimal. Kasus seperti ini merupakan sebuah pelanggaran berat terhadap hak-hak ekonomi masyarakat. Hanya pemerintah yang bisa menyelesaikan kasus ini.
Flores Pos | Bentara | Tanah
| 19 November 2008 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar