Oleh Frans Obon
NETRALITAS pegawai negeri sipil. Kita meneriakkan kata netralitas itu tiap kali pemilihan umum. Di tingkat lokal, kita meneriakkan kata yang sama.
Kita barangkali belajar dari politik Orde Baru yang menggunakan birokrasi sebagai salah satu mesin politiknya. Jalur B dalam Partai Golkar adalah tempat menampung mesin birokrasi itu. Mesin politik Golkar di masa Orde Baru pun begitu powerfull sehingga efektif sampai ke akar rumput.
Kita belajar dari pengalaman buruk tersebut. Karena keterlibatan pegawai negeri sipil dalam pemilu menciptakan ketidakadilan. Sumber daya negara (milik rakyat) seperti fasilitas publik, dana perjalanan dinas, dan mendompleng tugas pokok birokrasi telah menyalahi asas keadilan, asas fairness dalam pemilu.
Reformasi menambah volume suara teriakan kita makin kuat untuk menghentikan keterlibatan pegawai negeri sipil dalam politik pemilu nasional dan lokal. Birokrasi sungguh didorong untuk menjadi mesin pelayanan publik yang mengatasi semua kepentingan politik. Jabatan Sekretaris Daerah menjadi jabatan puncak dalam karier seorang pegawai negeri sipil.
Jika pegawai negeri sipil terjun dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau menjadi calon legislatif maka dia harus mengundurkan diri. Aturan itu tentu mau menjunjung tinggi asas fairness. Mencegah seseorang menyalahgunakan fasilitas publik untuk kepentingan politiknya. Birokrasi dengan demikian sungguh menjadi abdi masyarakat yang profesional, efektif, dan efisien. Karena birokrasi menjangkarkan pelayanan publik yang rasional, efisien, dan efektif.
Ideal itu sama sekali tidak tercapai. Pengalaman di banyak kabupaten di Flores dan Timor serta Sumba sungguh memperlihatkan bahwa pegawai negeri sipil memainkan peran tidak kecil di dalam membolisasi dukungan suara dalam pemilu baik pilkada maupun pemilu legislatif. Semua itu dilakukan tidak secara terang-terangan melainkan menggunakan jalur extended family dan persuasi lainnya ketika melakukan kunjungan kerja ke tengah masyarakat.
Dalam sejarah politik Indonesia hingga sekarang mesin birokrasi itu selalu jadi magnet bagi partai politik. Pertama, karena birokrasi memiliki jaringan ke massa akar rumput di pedesaan yang umumnya bersifat paternalistik. Sehingga birokrasi menjadi ajang perebutan partai politik. Lihat saja parpol menghitung calon partai yang memenangkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedua, kepentingan pegawai negeri sipil itu sendiri dalam merebut sumber daya di dalam pemerintahan baik jabatan maupun sumber daya ekonomi.
Mengenai yang pertama, ada tali temali kepentingan antara massa akar rumput terutama extended family seorang pegawai negeri sipil. Kebijakan pemerintah SBY-JK untuk secara bertahap mengangkat tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil adalah peluang baru untuk memperkuat hubungan simbiosis mutualisme di kalangan seorang PNS sebagai elite birokrasi perkotaan dengan massa akar rumput berbasis keluarga di pedesaan.
Terbatasnya lapangan kerja bagi tamatan perguruan tinggi membuat birokrasi pemerintahan menjadi salah satu alternatif terbaik, apalagi dari segi jaminan ekonomi. Elite birokrasi pemerintahan menarik orang-orang di lingkaran pendukung kekuasaannya menjadi tenaga honorer. Karenanya jika meneliti pengangkatan tenaga honorer di daerah-daerah, hampir pasti masih bertali temali kekeluargaan dengan pejabat pemerintahan. Sebab tidak ada proses rekrutmen terbuka di sana. Sebagai balasannya massa pedesaan akan mendukung kepentingan politik elite birokrasi tersebut.
Kedua, hubungan simbiosis mutualisme ini dengan basis kekeluargaan pada waktunya akan dipakai oleh elite birokrasi untuk mendukung kepentingannya dalam pilkada. Bukanlah hal mudah bagi PNS untuk bersikap netral dalam pilkada. Siapa yang tidak menabur, dia tidak akan menuai.
Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bersama kongsinya di birokrasi dan pemilik modal bersatu padu untuk menggalang dukungan bagi kemenangan calon kepala daerah. Keuntungan yang dia peroleh nanti adalah dia menduduki jabatan kepala dinas di dalam pemerintahan lokal yang baru itu. Jika dia tidak ikut dalam kongsi tersebut, dia akan berada di luar lingkar elite pemerintahan baru. Dia akan menempati posisi staf ahli, yang di dalam konteks daerah sering posisi tersebut disebut “non-job” secara halus.
Dalam banyak contoh meski elite birokrasi yang dekat dengan bupati dan wakil bupati itu kemampuannya tidak memadai, moralitasnya buruk, menyalahgunakan kekuasaannya, dia tidak akan dilepaskan dari jabatannya. Karena mereka sudah saling tahu dan saling menyokong dalam perebutan kekuasaan politik pemerintahan. Karena itu dalam pilkada, yang paling berkepentingan adalah pegawai negeri sipil.
Mentalitas proyek di kalangan birokrasi daerah ikut menyuburkan keterlibatan “sembunyi-sembunyi” pegawai negeri sipil dalam kampanye politik calon anggota legislatif. Kita tahu hak budget Dewan cukup mempengaruhi hubungan birokrasi dan legislatif. Kepala dinas, misalnya, berkepentingan dengan persetujuan DPRD dalam program-program dinas yang dipimpinnya. Dinas membutuhkan dana-dana untuk membiayai program mereka. Mereka berharap panitia anggaran DPRD tidak mencoretnya. Lobi-lobi ke arah itu intens dilakukan. Kalau kepala dinas itu terlibat di dalam mendorong dukungan massa bagi calon, maka akan “diperhitungkan” dalam relasi birokrasi-legislatif di DPRD.
Mengapa kepala dinas itu begitu “dikejar” elite birokrasi lokal, karena dana-dana yang membiayai program mereka cukup besar. Peluang untuk “korupsi” dengan cara yang lebih “pintar” dapat dilakukan. Apakah program itu mencerminkan visi, misi, dan program bupati dan wakil bupati terpilih, bukanlah masalah. Parsialitas dalam perencanaan pembangunan di daerah itu sudah biasa dilakukan. Karenanya pemaparan visi, misi, dan program calon bupati dan wakil bupati terpilih itu tidak bermanfaat banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar