Oleh Frans Obon
DALAM seminar sehari yang digelar Flores Institute for Resources Development (FIRD) Ende dalam rangka perayaan Hari Penyandang Cacat Sedunia, Rabu lalu pada sesi syering pengalaman seorang penyandang cacat Ahmad Yani, terlihat jelas bahwa orang cacat juga punya kemampuan untuk mengatasi masalah mereka, punya kemampuan untuk memenuhi sendiri kebutuhan mereka.
Pada peringatan kali ini, temanya Dignity and Justice for All of Us (Martabat dan Keadilan untuk Semua dari Kita). Undang-undang No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat sudah mengatur tentang persamaan hak tanpa diskriminasi terhadap orang-orang cacat.
Undang-undang ini menegaskan bahwa orang cacat juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak, berhak mendapatkan pekerjaan, dan berhak atas aksesibilitas dan partisipasi. Pendek kata, undang-undang telah menjamin hak-hak para penyandang cacat. Namun dalam praktiknya, hampir semua daerah tidak berusaha mengimplementasikannya. Masih banyak kita jumpai halangan-halangan yang membuat orang cacat tidak bisa memenuhi hak mereka.
Hak mendapatkan pekerjaannya, misalnya. Syarat sehat jasmani dan rohani pada saat testing pegawai negeri dilihat sebagai halangan bagi orang cacat mendapatkan pekerjaan di sektor pemerintahan. Padahal untuk jenis pekerjaan tertentu di perkantoran pemerintah mereka bisa lakukan. Tetapi mereka tidak bisa mendapatkannya karena syarat sehat jasmani dan rohani yang didefinisikan tidak adanya peluang untuk menerima orang cacat fisik.
Selain itu fasilitas-fasilitas publik yang dibangun pemerintah juga tidak mengakomodasi kebutuhan orang cacat. Tidak saja pada fasilitas publik. Di rumah orang tua mereka sendiri, hampir tidak disediakan fasilitas yang memenuhi kebutuhan mereka. Dengan ini mereka sudah disingkirkan mulai dari rumah hingga ke publik.
Sebenarnya yang mesti diubah adalah persepsi kita mengenai orang cacat. Umumnya kita melihat orang cacat itu sebagai orang sakit. Orang yang patut dibelaskasihani. Persepsi yang keliru ini berdampak pada pendekatan terhadap penanganan masalah orang cacat. Selama ini pemerintah menggunakan pendekatan karitatif. Orang cacat dipandang sebagai orang sakit yang pantas menerima belaskasihan.
Sekaranglah saatnya kita meninggalkan model karitatif. Kita menggunakan model pemberdayaan. Pendekatan ini tidak lain melihat orang cacat sebagai orang yang punya kemampuan khusus, yang berbeda dari orang yang bukan cacat. Mereka memiliki kemampuan khusus yang mesti diberdayakan. Karenanya pemerintah mesti menggelontorkan anggaran untuk pemberdayaan orang cacat. Ini hanya bisa dilakukan kalau persepsi kita berubah bahwa orang cacat juga mampu melakukan sesuatu.
Flores Pos | Bentara | Cacat
|6 Desember 2008 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar