Oleh Frans Obon
Sempat terjadi protes pada pemilihan kepala desa (Kades) Paga, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka pada 8 November 2007. Ada tiga calon yakni Frans Seko, Lukas Woge, dan Ambros Reku. Pemenangnya adalah Frans Seko meraih 724 suara, Lukas Woge meraih 686 suara, dan Ambros Reku 353 suara.
Khawatir protes dan ricuh berlanjut pada saat pelantikan, Jumat (29/8) di Kantor Camat Paga, dua peleton polisi dari Polres Sikka, yang dibantu aparat TNI dari Koramil Paga dan Brimob menjaga ketat acara pelantikan. Acara berlangsung aman.
Sebenarnya konflik Pilkades sudah sering terjadi di Flores. Memang skalanya masih kecil. Pilkades Paga terbilang besar karena protes melibatkan massa. Beralasan kalau pelantikan dijaga ketat aparat keamanan sebab khawatir terjadi konflik yang mengarah kepada kekacauan.
Konflik Pilkades, apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita mencari akar dari konflik Pilkades di Flores, kita bisa temukan beberapa alasan.
Pertama, kesempatan. Otonomi daerah tidak saja memberi kesempatan kepada elite lokal di tingkat kabupaten, tetapi juga bangkitnya elite baru di pedesaan. Kepala desa jadi jabatan baru yang menjanjikan. Bergesernya peran elite lokal pedesaan lama oleh sistem administrasi pemerintahan Indonesia merdeka, terutama di bawah rejim Orde Baru, menyebabkan peran dan kedudukan kepala desa jadi jauh lebih penting.
Elite baru yang diciptakan melalui pendidikan formal merebut kesempatan ini untuk memegang kendali pengaturan administrasi desa. Mengalirnya sebagian besar dana ke pedesaan oleh pemerintah menambah gairah untuk memperebutkan kekuasaan di tingkat pedesaan. Karena kesempatan untuk mendapatkan uang juga semakin terbuka lebar. Hal itu bisa kita lihat dari penyimpangan penggunaan dana di tingkat pedesaan dalam masa reformasi ini cenderung membesar.
Kedua, kepentingan politik. Sebab paling besar dari konflik Pilkades adalah kepentingan politik di tingkat kabupaten baik di tingkat elite pemerintahan maupun kontraktor. Elite perkotaan membangun basis massa politiknya di tingkat pedesaan. Kades dianggap punya pengaruh untuk mendulang suara bagi elite politik perkotaan.
Kepentingan ekonomi juga muncul di sini. Dana-dana swakelola yang diserahkan pengerjaannya ke pedesaan, juga menarik minat para kontraktor untuk ikut dukung mendukung calon kepala desa tertentu.
Bukan hal baru dan tabu sekarang bahwa praktik politik uang telah pula terjadi di tingkat pemilihan kepala desa. Cara-cara kotor dalam seleksi pemimpin sekarang bukan hanya milik elite perkotaan, tapi juga sudah mempengaruhi sistem seleksi pemimpin di tingkat desa.
Kasus Paga barangkali hanyalah bagian kecil yang tampak ke permukaan dari konflik dalam proses pemilihan kepala desa di Flores. Sesungguhnya proses pemilihan kades juga mencerminkan bersekutunya elite perkotaan dan elite desa untuk membangun jaringan politik bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar