09 Maret 2009

Korupsi di Birokrasi

Oleh Frans Obon

BADAN Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Ngada, begitu juga Bawasda Nusa Tenggara Timur, dan Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya tindakan merugikan keuangan negara. Besarnya Rp5 miliar lebih. Akhir Oktober lalu, baru Rp2 miliar dana tersebut dikembalikan ke kas negara. Sisanya Rp3 miliar belum dikembalikan –bahasa birokrasinya belum ditindaklanjuti.



Kepala Bawasda Ngada L A Lowa meminta satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan para kontraktor yang mengerjakan proyek pemerintah segera menyelasaikannya. Selain birokrasi pemerintah, ada 124 kontraktor yang belum melunasi tunggakan mereka berupa pajak (PPn dan PPh), yang timbul dari denda keterlambatan pengerjaan proyek.

Korupsi di tubuh pemerintahan sekarang ini tidak saja disebabkan oleh kelemahan moral, tetapi juga sudah struktural sifatnya. Lembaga-lembaga birokrasi di pemerintahan kita sudah tercemari oleh korupsi baik secara kualitas maupun kuantitas. Namun meskipun begitu, amat sulit kasus-kasus korupsi ini diselesaikan secara hukum.

Temuan Bawasda seperti ini lebih sebagai alat kontrol di kalangan pemerintah terhadap penggunaan keuangan negara. Karena hanya alat kontrol internal, maka kasus-kasus korupsi di birokrasi sering tidak diselesaikan di pengadilan, melainkan uangnya dikembalikan saja ke kas negara. Dalam beberapa hal, temuan Bawasda dipakai oleh bupati untuk kepentingan politiknya.

Menurut undang-undang, suatu tindakan korupsi masuk dalam perangkap hukum jika sudah memenuhi tiga elemen dasar ini yakni jika perbuatan itu secara melawan hukum memperkaya diri, menyalahgunakan kewenangan/jabatan, dan merugikan negara. Meski sudah memenuhi syarat ini, kasus korupsi di tubuh pemerintahan belum tentu dibawa ke pengadilan.
Korupsi di tubuh birokrasi merupakan pelanggaran oleh negara. Kita memiliki perangkat hukum, namun semua itu tidak mampu menghentikan korupsi di tubuh pemerintah. Inilah kelemahan umum negara-negara berkembang di mana pemerintah melanggar hukum yang diciptakannya sendiri.

Di negara-negara maju, penegakan hukum berjalan karena birokrasinya berbasis pada prestasi, kelembagaan politik yang kompetitif, pemerintahannya transparan, dan kontrol masyarakat sipil dan media massa yang kuat. Semua in tidak kita temukan di negara-negara berkembang.

Perselingkuhan birokrasi dan pengusaha (kontrator) dalam tender proyek-proyek pemerintah bukanlah hal baru. Birokrasi dan kontraktor saling berbagi keuntungan dalam proyek pemerintah.

Mentalitas proyek di birokrasi ikut menumbuhsuburkan praktik-praktik kolusi. Akibatnya terjadi lingkaran setan korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrasi pemerintah dan kontraktor. Semua itu cermin bening yang memantulkan wajah birokrasi kita.

Flores Pos | Bentara | Korupsi
| 24 November 2008 |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar