15 Mei 2009

Tak Ada Klaim Tunggal

Oleh Frans Obon

Peraih Nobel dalam bidang ekonomi tahun 1998 Amartya Sen menulis sebuah opini: A World Not Neatly Divided (Sebuah Dunia yang Tak Terbagi dengan Rapi) (New York Times, 23 November 2001). Dunia memang tidak pernah dibagi secara ketat. Dia bilang, banyak orang keliru mengerti tesis Samuel Huntington tentang perbenturan peradaban (clash civilisation). Kelemahan dasar dari teori Huntington adalah penggunaan kategorisasi tertentu dalam menilai sebuah masyarakat. Kategori sivilisasi terkesan artifisial dan tidak konsisten sebab ada banyak cara dalam melihat masyarakat (dari perspektif politik, bahasa, kelas, afiliasi, dan lain-lain).


Karenanya klasifikasi tunggal adalah sebuah perangkap yang menjebak. Menyebutkan “dunia Islam” dan “dunia Kristen” sama artinya kita memiskinkan pengertian kemanusiaan kita karena di dalam suatu negara atau budaya, masih ada subkultur lainnya. Masih ada identitas lainnya. Ini berarti tidak ada satu kategorisasi tunggal. Mengatakan India adalah Hindu, Pakistan adalah Islam, atau Indonesia adalah Islam sama artinya kita menyangkal adanya kategorisasi lain di dalam bangsa-bangsa tersebut. Bahwa mayoritas India adalah Hindu, mayoritas Pakistan adalah Islam, dan mayoritas Indonesia adalah Islam, itu bukan berarti kategorisasi tunggal itu dibenarkan begitu saja. Ini cara yang keliru membaca India, membaca Pakistan, dan membaca Indonesia. Demikian juga membaca Barat adalah Kristen. Sebab dengan itu kita telah menyangkal kehadiran orang lain di luar identitas tersebut.

Amartya Sen mengatakan, menyebut India dengan peradaban Hindu mungkin akan menyenangkan kelompok fundamentalis, tapi ini adalah sebuah cara aneh membaca India. Karena dengan ini kita juga akan menyangkal berbagai bentuk intreaksi antarkomunitas di India. Karena itu harapan akan adanya hubungan yang harmonis dalam masyarakat tidak terletak pada keseragaman tapi pada pluralitas dari identitas kita. Jadi kesimpulan Amartya Sen, “Perampokan atas identitas plural kita tidak hanya mereduksi kita, tetapi hal itu mempermiskin dunia.”

Ketika saya membaca artikel ini, saya teringat kembali pertemuan jaringan antariman di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang digelar Dian Interfidei Yogyakarta, Juni 2006 lalu. Pertemuan ini menghadirkan peserta dari berbagai daerah di Indonesia untuk membahas kemajemukan dan interaksi antarkomunitas dalam masyarakat kita. Peserta dari Banjarmasin menyeringkan pengalaman mereka mengenai penerapan Peraturan Daerah (Perda) Syariat Islam. Mariatul Asiah dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakat Kalimantan Selatan membeberkan penerapan Perda Syariah di Banjarmasin bagi komunikasi antarkelompok di ruang publik.

Peserta dari Makassar bicara tentang Perda Syariah. H Aswar Hassan dari KPPSI mengatakan, Perda Syariah itu telah dibahas dan disahkan oleh DPRD sebagai representasi rakyat. Pengesahan Perda-Perda Syariah itu dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Dengan mengatakan begini, menurut dia, pemberlakuan Perda Syariat Islam itu sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi. Semua diputuskan melalui mekanisme demokratis oleh lembaga demokrasi.

Pernyataan ini tentu menimbulkan perdebatan mengenai demokrasi prosedural dan substansi demokrasi. Pengambilan keputusan menurut prosedur demokrasi oleh lembaga resmi demokrasi yang merupakan representasi rakyat dalam sistem demokrasi tak langsung, sama sekali belum tentu mencerminkan substansi dari demokrasi itu sendiri. Keputusan tersebut tidak mencerminkan substansi demokrasi. Karena aturan itu menutup ruang bagi orang lain di luar komunitas tersebut. Padahal esensi demokrasi adalah pluralisme, kebebasan dan penghargaan terhadap individu. Karena itu demokrasi berbicara mengenai pentingnya pembedaan antara ruang publik dan ruang privat untuk menghindari pemaksaan dalam interaksi antarkomunitas.

Dalam diskusi kemudian hangat dibicarakan tempat komunitas lain di dalam pemberlakuan Perda Syariah ini. Trisno S Susanto dari Masyarakat Dialog Antariman (Madia) bertanya kepada Aswar Hassan: “Di mana tempat kami (yang bukan muslim) di dalam Perda Syariah ini”. Aswar mengatakan, justru karena Anda maka Perda Syariah ini ada.

Pertanyaan Trisno adalah pertanyaan dari banyak komunitas lainnya ketika di wilayah publik dipaksakan sebuah peraturan dari satu komunitas tertentu. “Di mana tempat kami”. Pertanyaan ini bisa diajukan di Paris, di Roma, di London, di Riyadh, di Kairo, di Tel Aviv, di Bagdad, di Istambul, di Teheran, di Asia, di Amerika, dan di Amerika Latin. Pertanyaan itu bukan saja berkaitan dengan kategorisasi agama, melainkan juga soal pandangan (filsafat hidup), soal bahasa, soal sastra, soal politik. Kekayaan sebuah komunitas dipengaruhi oleh interaksi antarkomunitas. Karena komunitas bukan sebuah sistem tertutup. Dengan demikian penyeragaman (uniformitas) adalah bentuk pengeroposan dan pengingkaran terhadap pluralisme dalam sebuah komunitas, dalam sebuah bangsa, dan sebuah negara.

Menyadari adanya perbedaan antara komunitas, maka wacana kemudian berubah ke arah pentingnya membangun interaksi yang sifatnya multikultural. Setiap komunitas didorong untuk hidup berdampingan secara damai. Ada keharusan untuk berkoeksistensi secara damai. Koeksistensi, ada bersama secara damai dengan komunitas lain akhirnya harus didorong ke arah proeksistensi.

Dengan ini tidak berarti di negara-negara yang kehidupan demokrasinya lebih maju tidak ada ketegangan akibat pluralisme ini. Tetap ada. Hanya pemerintah tidak mendorong penerapan aturan yang saling meniadakan antarkomunitas. Negara tetap bertindak sebagai penyeimbang dalam interaksi antarkomunitas. Dengan itu pula negara tetap menjamin identitas kelompok-kelompok tersebut, tanpa ada usaha untuk sebuah penyeragaman. Aturan di wilayah publik tetap mengakomodir semua kepentingan identitas komunitas di dalam sebuah negara.

Tidak ada kategori tunggal dalam sebuah daerah atau sebuah negara-bangsa. Saya kira kata itu harus terus kita gemakan di Flores. Orang-orang Flores mesti disiapkan untuk menghadapi migrasi penduduk dari luar Flores. Siapa bisa menjamin Katolik tetap menjadi mayoritas di Flores untuk puluhan tahun kemudian. Eropa berada di ambang kecemasan dengan makin banyaknya jumlah migran dari Afrika dan Asia yang tiap kali menuntut diberi tempat yang sama di benua yang bernama Eropa. Sementara jumlah penduduk Eropa terus menurun. Peta, kekuatan, dan pola interaksi antarkelompok akan berubah dan berpengaruh oleh migrasi penduduk.

Flores sebagai sebuah daerah terbuka akan menghadapi gelombang migrasi bertahun-tahun ke depan. Rakyat Flores harus dilatih dan disiapkan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain tanpa harus kehilangan identitas mereka. Mereka harus tetap hidup dalam warisan kultural mereka tapi serentak bersikap terbuka. Sikap terbuka yang sama akan mereka kembangkan ketika mereka bekerja di negara lain. Mereka akan dihadapkan pada komunitas lain yang berbeda dari mereka.

Dunia, kata Amartya Sen, tidak pernah dibagi secara rapi. Karenanya tidak ada kategorisasi tunggal. Biarkan itu jadi kesadaran kita bersama di Flores.

Ende, 15 Mei 2009
Read more...

03 Mei 2009

Tak Mau Makan Janji

Oleh FRANS OBON

Konon kemenangan Partai Demokrat ditunjang oleh iklan di media massa dan televisi, serta iklan di media online. Iklan yang masif, popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan program kerja pemerintah yang populis adalah tiga faktor utama terdongkraknya suara Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif 2009. Iklan (konten dan visualisasinya) dilihat sebagai sebuah metode baru dalam kampanye politik Indonesia. Manajemen komunikasi presiden sendiri jauh lebih baik daripada manajemen komunikasi presiden-presiden sebelumnya. “Orang-orang presiden” pandai memenej komunikasi dengan media massa cetak maupun televisi.

Iklan-iklan dari departemen-departemen seperti Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, serta Departemen Komunikasi dan Informatika memberi citra positif bagi pemerintahan SBY-JK.


Program populis seperti bantuan langsung tunai (BLT), PNPM Mandiri, tenaga honorer daerah jadi pegawai negeri sipil telah “menyihir” rakyat. Pemilih Indonesia yang sebagian besar belum melek politik melihat bahwa pemerintahan yang beginilah yang dibutuhkan rakyat. Pemerintahan yang murah hati. Yang menawarkan program-program populis. Rakyat tidak peduli dengan fondasi ekonomi karena rumitnya masalah. Apalagi sekarang belum banyak analis-analis ekonomi yang opininya tajam yang dapat membuka mata banyak rakyat pemilih Indonesia untuk menilai kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya.

PDI Perjuangan sebagai partai oposisi juga telah kehilangan banyak analis politik dan ekonomi setajam Kwik Kian Gie. Suara-suara oposisi tidak muncul pada media massa Indonesia. Ada gerakan pembentukan Pansus di DPR oleh partai oposisi, tapi karena tidak dijelaskan dengan baik melalui media massa maka aksi tersebut oleh masyarakat umum dibaca lebih sebagai sekadar berbeda. Akibat tidak adanya analisis ekonomi dan politik yang tajam itu masyarakat Indonesia kehilangan preferensi dalam menilai iklan-iklan politik.

Tetapi menurut M Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer Jakarta, dalam artikel “Dari Massa Mengambang ke Partai Mengambang” (Kompas, 11 April 2009), menyandarkan diri pada iklan televisi dan media cetak bukan tanpa kelemahan.

Dibandingkan dengan Partai Golkar dan PDI Perjuangan, ujiannya nanti bagi Partai Demokrat ada pada Pemilu 2014. Karena partai ini tidak punya infrastruktur politik (jaringan dan kader) sekuat dua partai papan atas lainnya:PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Menurut dia, posisi Golkar di pemerintahan tidak cukup taktis membikin iklan bagi kepentingannya.

J Kristiadi dalam dialog televisi bersama Panda Nababan, Priyo Budi Santoso di TVOne Selasa malam (22 April 2009) mengatakan, kubu Partai Demokrat jangan dulu takabur dengan hasil survei dan opini sekarang ini yang seolah-olah SBY sudah di atas angin. Dia mengingatkan bahwa PDI Perjuangan dan Partai Golkar punya infrastruktur politik yang kuat. Kedua partai ini memenangkan sekian banyak bupati dan gubernur di Indonesia. Jika kedua partai ini menggerakkan mesin politiknya dengan baik, maka bukan tidak mungkin peta politik bisa berubah.

Iklan-iklan politik dan menajemen komunikasi pemerintah yang cukup bagus telah membawa efek bagi rakyat pemilih. Mereka memiliki preferensi dalam memilih. Dari sini kita tahu bahwa kampanye terbuka pada masa kampanye tidak cukup memberikan preferensi bagi rakyat. Kampanye terbuka lebih sebagai sebuah hiburan dan pesta bagi-bagi rejeki.

Banyak yang bilang Golkar tidak cukup cekatan mengiklankan program-program populis pemerintah. Tapi sebenarnya posisi Jusuf Kalla sebagai wakil presiden memberikan kesulitan bagi Golkar dalam mengklaim hal ini. Dalam politik Indonesia di mana kita hanya mengenal satu matahari, maka seluruh keberhasilan dicitrakan sebagai keberhasilan presiden. Kecuali presiden dan wakil presiden berasal dari partai yang sama, bukan merupakan koalisi dari dua partai berbeda.

Lihatlah iklan swasembada pangan. Tiga partai di koalisi saling mengklaim. Golkar mengklaimnya. PKS mengklaimnya karena Menteri Pertanian Anton Apriantono dari PKS. Demokrat mengklaimnya karena presidennya dari Demokrat. Soal Bantuan Tunai Langsung (BLT), saya nonton di Metro TV konon katanya itu gagasan Jusuf Kalla sebagai kelanjutan dari kompensasi kenaikan harga BBM. Konversi dari minyak tanah ke gas (elpiji), katanya juga konsepnya dari Jusuf Kalla. Memang ada kesan bahwa Jusuf Kalla adalah the real president (presiden yang sesungguhnya). Tapi cerita ini tidak cukup kuat mendongkrak popularitas Jusuf Kalla. Hal itu bisa dilihat dari tingkat elektabilitas Jusuf Kalla jika maju sebagai calon presiden seperti ditunjukkan oleh berbagai survei. Beda halnya ketika pasangan SBY-JK, sebelum duet ini berpisah, memiliki elektabilitas yang tinggi dibandingkan dengan calon lainnya. Paling tidak dari survei yang dilakukan.

Dalam situasi bacaan politik rakyat yang masih terbatas, kampanye program partai-partai politik semata-mata dilihat sebagai janji belaka. Bukan dilihat sebagai program kerja yang ditawarkan. Janji dikonotasikan sebagai bentuk kebohongan karena memang bisa ditepati dan bisa pula diingkari. Rakyat tidak bisa menuntut pertanggungjawabannya jika janji diingkari. Paling-paling mereka menunggu lima tahun lagi.

Hal ini terekam kuat dan membentuk persepsi para pemilih. Persepsi ini mampu menggerakkan orientasi pemilih. Minimnya analisis tandingan terhadap klaim pemerintah menyebabkan monopoli wacana di ruang publik. Apalagi dalam konteks masyarakat paternalistis seperti Indonesia, kritik dilihat sebagai pemfitnahan.

Kritik dianggap sebagai perbuatan jahil. Kelemahan ini digunakan oleh politisi dengan memposisikan diri mereka sebagai orang yang dizalimi. Masyarakat pun memihak orang yang dianggap jadi korban penzaliman. Rakyat yang tidak beruntung, yang tidak mampu bersaing dalam konteks global, dalam ekonomi kapitalis, merasa diri sebagai korban dari sistem ekonomi yang tidak mengenal belas kasihan. Solidaritas terbentuk dari rasa dikorbankan oleh pembangunan dan tindakan-tindakan lainnya. Dalam masyarakat transisi dari praktik kekuasaan otoriter ke demokrasi, hal semacam ini akan menjadi efektif untuk pencitraan diri.

Menurut persepsi masyarakat, janji setali tiga uang dengan kebohongan. Di tempat-tempat pertemuan, saya sering mendengar kata ini: sekarang memberi janji, kalau sudah mendapatkan kursi kekuasaan, lupa pada janji. Dulu sebelum jadi anggota Dewan, senasib sepenanggung dengan tetangga. Setelah jadi anggota Dewan, dekat di mata jauh di hati. Di dalam diskusi-diskusi juga sering terlontar keluhan adanya perubahan perilaku sebelum dan sesudah menjadi anggota Dewan. Sebelum pemilu, kita semua saudara. Setelah dapat kursi, orang tenggelam di balik pintuk mobil.

Jangan-jangan inilah alasannya mengapa orang di sebelah rumah atau tetangga yang jadi calon anggota legislatif tidak mau dipilih oleh tetangganya. Perubahan sikap dan pola hidup menimbulkan rasa kecewa. Masyarakat lihat elite birokrasi dan elite legislatif bersekutu dalam pesta pora uang rakyat dengan berbagai modus: perjalanan dinas, kolusi proyek, dan fasilitas lainnya. Mereka menghabiskannya di Kupang, di Surabaya, di Jakarta, dan di tempat-tempat enak lainnya.

Barangkali inilah yang melahirkan sikap pramgatis. Pengingkaran terhadap janji dan komitmen pada rakyat melahirkan pragmatisme dalam bersikap: kami tidak mau lagi makan janji. Kami minta jatah duluan: sembako, sarimie, dan uang. Di manakah kepentingan umum? Dia sudah ditempatkan di sudut belakang kehidupan oleh perilaku berpolitik tanpa etika dan moralitas.

Ende, 2 Mei 2009


Read more...