07 Juni 2009

Pangan

Oleh FRANS OBON

Tiga bupati dari Flores diundang oleh Harm Foundation untuk menengok dari dekat pendekatan yang digunakan pemerintah Jerman dalam mengembangkan pertanian dan pedesaan. Bupati Manggarai Christian Rotok, Bupati Ende Don Bosco M Wangge dan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda akan sejenak berada di Jerman.
Sistem pertanian dan penataan pedesaan barangkali dua hal penting yang bisa dipelajari dalam kunjungan ini. Karena justru dua hal ini amat krusial bagi pengembangan pertanian dan penataan pedesaan kita saat ini.

Dalam soal pertanian, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian pengambil kebijakan di daerah ini. Pertama, optimalisasi lahan pertanian. Orang-orang yang baru saja datang ke Flores, akan mendapatkan kesan pertama bahwa banyak sekali lahan tidur di daerah kita. Lahan tidur tidak lain adalah lahan yang tidak tergarap dengan baik dan dibiarkan begitu saja. Sementara itu para petani kita dalam pengelolaan lahan pertanian amat subsisten sifatnya. Pertanian kita digarap asal jadi. Begitu jauh dari sentuhan teknologi dan keterampilan yang seharusnya dimiliki para petani. Para petani kita tidak terlalu banyak diperkenalkan dengan teknologi pertanian yang bisa mengubah sistem pertanian mereka.


Beberapa waktu lalu, di Manggarai misalnya, lahan pertanian dimanfaatkan untuk tanaman komoditas: jambu mete, kemiri, vanili, kopi, kakao. Perubahan fungsi lahan itu tidak disertai dengan kebijakan melindungi hasil komoditas rakyat. Pengusaha menentukan sepihak harga komoditas pertanian sedangkan rakyat menerimanya tanpa punya daya tawar sedikitpun. Kita mengajarkan kepada rakyat mengenai pertanian berorientasi pasar tapi pemerintah kita gagal melindungi kepentingan mereka. Dengan demikian perdagangan berjalan di atas rel ketidakadilan. Petani yang tidak punya informasi mengenai pasar dikalahkan.

Di sisi lain perubahan orientasi pertanian di masyarakat juga tidak disertai pendampingan yang intens dari pemerintah agar pertanian kita laku di pasar. Swisscontact, yang sejak beberapa tahun lalu, mendampingi para petani mete di Flores Timur dan Sikka memberikan kita sisi baru dalam pendampingan para petani agar komoditas mereka dapat diterima di pasar-pasar negara Eropa dan Amerika. Pasar Eropa dan Amerika membutuhkan jambu mete organik. Swisscontact mendatangkan IMO, sebuah badan yang memberikan akreditasi bahwa sungguh komoditas jambu mete Flores sifatnya organik, sehingga pasar Eropa dan Amerika dapat menerimanya. Yang ingin ditegaskan adalah bagaimana pemerintah mestinya mendampingi para petani kita agar komoditas pertanian mereka sungguh berkualitas dan diterima di pasar-pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.

Sebenarnya tuntutan akan pertanian organik bukan saja di luar negeri. Pasar di dalam negeri sekarang sudah menuntut agar pertanian kita tidak lagi menggunakan pupuk dan zat kimia lainnya. Bisakah kita mengelola pertanian kita tanpa menggunakan zat-zat kimia seperti itu? Menghilangkan kebiasaan tersebut, perlu ada intervensi dan pendampingan terhadap para petani kita.

Kedua, lemahnya pengawasan pelaksanaan tata ruang. Hampir tiap daerah di Flores atau NTT punya tata ruang. Tetapi banyak pula pemerintah lokal kita tidak menaati tata ruang yang telah ditetapkan. Seenaknya diubah. Bagaimana bisa pemerintah lokal kita, misalnya memberikan konsesi pertambangan di daerah pariwisata. Di satu sisi kita mengkampanyekan pariwisata, tapi di sisi lain kita membuka kran investasi pertambangan yang merusak ekowisata. Ada kontradiksi di dalam kebijakan pemerintah daerah. Pemerintah membuat rencana tata ruang wilayah dan tata ruang perkotaan, tetapi pada kesempatan yang sama pemerintah melanggarnya. Betapa pemerintah kita ada dalam inskonsistensi kebijakan.

Jika kita mengkampanyekan pariwisata seharusnya pemerintah kita mendorong pengembangan lahan pertanian untuk menunjang kebutuhan pariwisata. Di Mabar, misalnya, sayur dan buah-buahan didatangkan dari luar daerah untuk kebutuhan turisme. Akibatnya kita kaya objek wisata, tapi hal itu tidak membuat masyarakat kita memperoleh keuntungan. Masyarakat kita jadi penonton.

Kepatuhan terhadap tata ruang merupakan salah satu kunci dalam pembangunan. Pengalaman di negara maju, pemerintah sangat ketat dengan pemanfaatan tata ruang wilayah. Dari cerita para misionaris di luar negeri, negara maju seperti Jepang misalnya, pemerintahnya sangat ketat dengan pemanfaatan tata ruang. Lahan-lahan pertanian yang produktif dilindungi dan tidak diutak-atik untuk kepentingan pemodal sehingga produksi pangan tetap terjamin. Saya kira cerita busung lapar di daerah kita atau para petani makan putak mencerminkan kekurangan-konsistenannya pemerintah mengembangkan pertanian kita. Jika makanan tidak terjamin tersedia, bagaimana bisa kita memberdayakan sumber daya manusia. Busung lapar adalah proses pengkerdilan sumber daya manusia kita.

Kita harus akui bahwa soal pengawasan penggunaan tata ruang kita lemah. Sudah ada aturan bahwa suatu wilayah telah dijadikan hutan lindung. Tapi masyarakat kita dengan mudah membabatnya jadi lahan pertanian. Pemerintah lihat saja dan tidak pernah ambil tindakan tegas. Dalam konteks Flores, ketika hutan gundul, orang minta Gereja Katolik harus kampanyekan penyelamatan hutan. Bukankah ini bentuk lempar tanggung jawab. Pemerintah punya instrumen hukum (positif) untuk memberikan tindakan tegas. Ini tugas pemerintah agar rakyatnya taat asas. Tapi karena pemerintah punya kepentingan politis yang kental dan takut dianggap tidak pro rakyat, maka pemerintah menjadi lemah.

Ketiga, konflik tanah pertanian. Yang perlu juga kita pelajari dari sistem pertanian di Eropa adalah sistem kepemilikan lahan pertanian. Banyak sekali jatuh korban jiwa akibat perebutan lahan pertanian. Ini mengisyaratkan bahwa sistem kepemilikan lahan kita tidak memberikan jaminan. Di Manggarai, orang bisa merebut lahan pertanian kampung lain hanya oleh sebuah klaim sejarah masa lalu yang tidak terbukti sama sekali. Pemerintah kita terkesan membiarkan konflik ini berlarut-larut tanpa ada usaha fasilitasi yang intens. Di seluruh Flores, sistem kepemilikan lahan menjadi masalah krusial yang belum tersentuh sampai sekarang. Distribusi tanah kita belum menjamin kepemilikan yang langgeng ke depan.

Hal penting lainnya adalah belajar mengenai penataan pedesaan. Saat ini banyak sekali dana dikucurkan. Tapi sejalan dengan itu, ada banyak cerita-cerita korupsi di pedesaan kita. Jadi, otonomi desa dijadikan kesempatan pemerataan korupsi. Otonomi desa tidak dimaksudkan untuk menata pemerintahan yang bersih dan akuntabel, tetapi desa menjadi kantong korupsi baru.

Memang harus kita akui perbedaan antara Eropa dan daerah kita seperti langit dan bumi. Mereka sudah begitu maju dan stabil. Tetapi apakah kita tidak bisa meniru mereka untuk mengatur masyarakat kita sesuai dengan konteks kita di sini. Saya sering kali jumpai dalam tugas jurnalistik bahwa selalu ada kesulitan dalam menjawab pertanyaan: apa yang dapat kita petik dari setiap kali studi banding? Studi banding seringkali jadi kesempatan rekreatif. Kita kembali dengan semangat yang sama.

Flores Pos | Asal Omong | Pangan
| 23 Mei 2009 |

Read more...

15 Mei 2009

Tak Ada Klaim Tunggal

Oleh Frans Obon

Peraih Nobel dalam bidang ekonomi tahun 1998 Amartya Sen menulis sebuah opini: A World Not Neatly Divided (Sebuah Dunia yang Tak Terbagi dengan Rapi) (New York Times, 23 November 2001). Dunia memang tidak pernah dibagi secara ketat. Dia bilang, banyak orang keliru mengerti tesis Samuel Huntington tentang perbenturan peradaban (clash civilisation). Kelemahan dasar dari teori Huntington adalah penggunaan kategorisasi tertentu dalam menilai sebuah masyarakat. Kategori sivilisasi terkesan artifisial dan tidak konsisten sebab ada banyak cara dalam melihat masyarakat (dari perspektif politik, bahasa, kelas, afiliasi, dan lain-lain).


Karenanya klasifikasi tunggal adalah sebuah perangkap yang menjebak. Menyebutkan “dunia Islam” dan “dunia Kristen” sama artinya kita memiskinkan pengertian kemanusiaan kita karena di dalam suatu negara atau budaya, masih ada subkultur lainnya. Masih ada identitas lainnya. Ini berarti tidak ada satu kategorisasi tunggal. Mengatakan India adalah Hindu, Pakistan adalah Islam, atau Indonesia adalah Islam sama artinya kita menyangkal adanya kategorisasi lain di dalam bangsa-bangsa tersebut. Bahwa mayoritas India adalah Hindu, mayoritas Pakistan adalah Islam, dan mayoritas Indonesia adalah Islam, itu bukan berarti kategorisasi tunggal itu dibenarkan begitu saja. Ini cara yang keliru membaca India, membaca Pakistan, dan membaca Indonesia. Demikian juga membaca Barat adalah Kristen. Sebab dengan itu kita telah menyangkal kehadiran orang lain di luar identitas tersebut.

Amartya Sen mengatakan, menyebut India dengan peradaban Hindu mungkin akan menyenangkan kelompok fundamentalis, tapi ini adalah sebuah cara aneh membaca India. Karena dengan ini kita juga akan menyangkal berbagai bentuk intreaksi antarkomunitas di India. Karena itu harapan akan adanya hubungan yang harmonis dalam masyarakat tidak terletak pada keseragaman tapi pada pluralitas dari identitas kita. Jadi kesimpulan Amartya Sen, “Perampokan atas identitas plural kita tidak hanya mereduksi kita, tetapi hal itu mempermiskin dunia.”

Ketika saya membaca artikel ini, saya teringat kembali pertemuan jaringan antariman di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang digelar Dian Interfidei Yogyakarta, Juni 2006 lalu. Pertemuan ini menghadirkan peserta dari berbagai daerah di Indonesia untuk membahas kemajemukan dan interaksi antarkomunitas dalam masyarakat kita. Peserta dari Banjarmasin menyeringkan pengalaman mereka mengenai penerapan Peraturan Daerah (Perda) Syariat Islam. Mariatul Asiah dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakat Kalimantan Selatan membeberkan penerapan Perda Syariah di Banjarmasin bagi komunikasi antarkelompok di ruang publik.

Peserta dari Makassar bicara tentang Perda Syariah. H Aswar Hassan dari KPPSI mengatakan, Perda Syariah itu telah dibahas dan disahkan oleh DPRD sebagai representasi rakyat. Pengesahan Perda-Perda Syariah itu dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Dengan mengatakan begini, menurut dia, pemberlakuan Perda Syariat Islam itu sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi. Semua diputuskan melalui mekanisme demokratis oleh lembaga demokrasi.

Pernyataan ini tentu menimbulkan perdebatan mengenai demokrasi prosedural dan substansi demokrasi. Pengambilan keputusan menurut prosedur demokrasi oleh lembaga resmi demokrasi yang merupakan representasi rakyat dalam sistem demokrasi tak langsung, sama sekali belum tentu mencerminkan substansi dari demokrasi itu sendiri. Keputusan tersebut tidak mencerminkan substansi demokrasi. Karena aturan itu menutup ruang bagi orang lain di luar komunitas tersebut. Padahal esensi demokrasi adalah pluralisme, kebebasan dan penghargaan terhadap individu. Karena itu demokrasi berbicara mengenai pentingnya pembedaan antara ruang publik dan ruang privat untuk menghindari pemaksaan dalam interaksi antarkomunitas.

Dalam diskusi kemudian hangat dibicarakan tempat komunitas lain di dalam pemberlakuan Perda Syariah ini. Trisno S Susanto dari Masyarakat Dialog Antariman (Madia) bertanya kepada Aswar Hassan: “Di mana tempat kami (yang bukan muslim) di dalam Perda Syariah ini”. Aswar mengatakan, justru karena Anda maka Perda Syariah ini ada.

Pertanyaan Trisno adalah pertanyaan dari banyak komunitas lainnya ketika di wilayah publik dipaksakan sebuah peraturan dari satu komunitas tertentu. “Di mana tempat kami”. Pertanyaan ini bisa diajukan di Paris, di Roma, di London, di Riyadh, di Kairo, di Tel Aviv, di Bagdad, di Istambul, di Teheran, di Asia, di Amerika, dan di Amerika Latin. Pertanyaan itu bukan saja berkaitan dengan kategorisasi agama, melainkan juga soal pandangan (filsafat hidup), soal bahasa, soal sastra, soal politik. Kekayaan sebuah komunitas dipengaruhi oleh interaksi antarkomunitas. Karena komunitas bukan sebuah sistem tertutup. Dengan demikian penyeragaman (uniformitas) adalah bentuk pengeroposan dan pengingkaran terhadap pluralisme dalam sebuah komunitas, dalam sebuah bangsa, dan sebuah negara.

Menyadari adanya perbedaan antara komunitas, maka wacana kemudian berubah ke arah pentingnya membangun interaksi yang sifatnya multikultural. Setiap komunitas didorong untuk hidup berdampingan secara damai. Ada keharusan untuk berkoeksistensi secara damai. Koeksistensi, ada bersama secara damai dengan komunitas lain akhirnya harus didorong ke arah proeksistensi.

Dengan ini tidak berarti di negara-negara yang kehidupan demokrasinya lebih maju tidak ada ketegangan akibat pluralisme ini. Tetap ada. Hanya pemerintah tidak mendorong penerapan aturan yang saling meniadakan antarkomunitas. Negara tetap bertindak sebagai penyeimbang dalam interaksi antarkomunitas. Dengan itu pula negara tetap menjamin identitas kelompok-kelompok tersebut, tanpa ada usaha untuk sebuah penyeragaman. Aturan di wilayah publik tetap mengakomodir semua kepentingan identitas komunitas di dalam sebuah negara.

Tidak ada kategori tunggal dalam sebuah daerah atau sebuah negara-bangsa. Saya kira kata itu harus terus kita gemakan di Flores. Orang-orang Flores mesti disiapkan untuk menghadapi migrasi penduduk dari luar Flores. Siapa bisa menjamin Katolik tetap menjadi mayoritas di Flores untuk puluhan tahun kemudian. Eropa berada di ambang kecemasan dengan makin banyaknya jumlah migran dari Afrika dan Asia yang tiap kali menuntut diberi tempat yang sama di benua yang bernama Eropa. Sementara jumlah penduduk Eropa terus menurun. Peta, kekuatan, dan pola interaksi antarkelompok akan berubah dan berpengaruh oleh migrasi penduduk.

Flores sebagai sebuah daerah terbuka akan menghadapi gelombang migrasi bertahun-tahun ke depan. Rakyat Flores harus dilatih dan disiapkan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain tanpa harus kehilangan identitas mereka. Mereka harus tetap hidup dalam warisan kultural mereka tapi serentak bersikap terbuka. Sikap terbuka yang sama akan mereka kembangkan ketika mereka bekerja di negara lain. Mereka akan dihadapkan pada komunitas lain yang berbeda dari mereka.

Dunia, kata Amartya Sen, tidak pernah dibagi secara rapi. Karenanya tidak ada kategorisasi tunggal. Biarkan itu jadi kesadaran kita bersama di Flores.

Ende, 15 Mei 2009
Read more...

03 Mei 2009

Tak Mau Makan Janji

Oleh FRANS OBON

Konon kemenangan Partai Demokrat ditunjang oleh iklan di media massa dan televisi, serta iklan di media online. Iklan yang masif, popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan program kerja pemerintah yang populis adalah tiga faktor utama terdongkraknya suara Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif 2009. Iklan (konten dan visualisasinya) dilihat sebagai sebuah metode baru dalam kampanye politik Indonesia. Manajemen komunikasi presiden sendiri jauh lebih baik daripada manajemen komunikasi presiden-presiden sebelumnya. “Orang-orang presiden” pandai memenej komunikasi dengan media massa cetak maupun televisi.

Iklan-iklan dari departemen-departemen seperti Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, serta Departemen Komunikasi dan Informatika memberi citra positif bagi pemerintahan SBY-JK.


Program populis seperti bantuan langsung tunai (BLT), PNPM Mandiri, tenaga honorer daerah jadi pegawai negeri sipil telah “menyihir” rakyat. Pemilih Indonesia yang sebagian besar belum melek politik melihat bahwa pemerintahan yang beginilah yang dibutuhkan rakyat. Pemerintahan yang murah hati. Yang menawarkan program-program populis. Rakyat tidak peduli dengan fondasi ekonomi karena rumitnya masalah. Apalagi sekarang belum banyak analis-analis ekonomi yang opininya tajam yang dapat membuka mata banyak rakyat pemilih Indonesia untuk menilai kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya.

PDI Perjuangan sebagai partai oposisi juga telah kehilangan banyak analis politik dan ekonomi setajam Kwik Kian Gie. Suara-suara oposisi tidak muncul pada media massa Indonesia. Ada gerakan pembentukan Pansus di DPR oleh partai oposisi, tapi karena tidak dijelaskan dengan baik melalui media massa maka aksi tersebut oleh masyarakat umum dibaca lebih sebagai sekadar berbeda. Akibat tidak adanya analisis ekonomi dan politik yang tajam itu masyarakat Indonesia kehilangan preferensi dalam menilai iklan-iklan politik.

Tetapi menurut M Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer Jakarta, dalam artikel “Dari Massa Mengambang ke Partai Mengambang” (Kompas, 11 April 2009), menyandarkan diri pada iklan televisi dan media cetak bukan tanpa kelemahan.

Dibandingkan dengan Partai Golkar dan PDI Perjuangan, ujiannya nanti bagi Partai Demokrat ada pada Pemilu 2014. Karena partai ini tidak punya infrastruktur politik (jaringan dan kader) sekuat dua partai papan atas lainnya:PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Menurut dia, posisi Golkar di pemerintahan tidak cukup taktis membikin iklan bagi kepentingannya.

J Kristiadi dalam dialog televisi bersama Panda Nababan, Priyo Budi Santoso di TVOne Selasa malam (22 April 2009) mengatakan, kubu Partai Demokrat jangan dulu takabur dengan hasil survei dan opini sekarang ini yang seolah-olah SBY sudah di atas angin. Dia mengingatkan bahwa PDI Perjuangan dan Partai Golkar punya infrastruktur politik yang kuat. Kedua partai ini memenangkan sekian banyak bupati dan gubernur di Indonesia. Jika kedua partai ini menggerakkan mesin politiknya dengan baik, maka bukan tidak mungkin peta politik bisa berubah.

Iklan-iklan politik dan menajemen komunikasi pemerintah yang cukup bagus telah membawa efek bagi rakyat pemilih. Mereka memiliki preferensi dalam memilih. Dari sini kita tahu bahwa kampanye terbuka pada masa kampanye tidak cukup memberikan preferensi bagi rakyat. Kampanye terbuka lebih sebagai sebuah hiburan dan pesta bagi-bagi rejeki.

Banyak yang bilang Golkar tidak cukup cekatan mengiklankan program-program populis pemerintah. Tapi sebenarnya posisi Jusuf Kalla sebagai wakil presiden memberikan kesulitan bagi Golkar dalam mengklaim hal ini. Dalam politik Indonesia di mana kita hanya mengenal satu matahari, maka seluruh keberhasilan dicitrakan sebagai keberhasilan presiden. Kecuali presiden dan wakil presiden berasal dari partai yang sama, bukan merupakan koalisi dari dua partai berbeda.

Lihatlah iklan swasembada pangan. Tiga partai di koalisi saling mengklaim. Golkar mengklaimnya. PKS mengklaimnya karena Menteri Pertanian Anton Apriantono dari PKS. Demokrat mengklaimnya karena presidennya dari Demokrat. Soal Bantuan Tunai Langsung (BLT), saya nonton di Metro TV konon katanya itu gagasan Jusuf Kalla sebagai kelanjutan dari kompensasi kenaikan harga BBM. Konversi dari minyak tanah ke gas (elpiji), katanya juga konsepnya dari Jusuf Kalla. Memang ada kesan bahwa Jusuf Kalla adalah the real president (presiden yang sesungguhnya). Tapi cerita ini tidak cukup kuat mendongkrak popularitas Jusuf Kalla. Hal itu bisa dilihat dari tingkat elektabilitas Jusuf Kalla jika maju sebagai calon presiden seperti ditunjukkan oleh berbagai survei. Beda halnya ketika pasangan SBY-JK, sebelum duet ini berpisah, memiliki elektabilitas yang tinggi dibandingkan dengan calon lainnya. Paling tidak dari survei yang dilakukan.

Dalam situasi bacaan politik rakyat yang masih terbatas, kampanye program partai-partai politik semata-mata dilihat sebagai janji belaka. Bukan dilihat sebagai program kerja yang ditawarkan. Janji dikonotasikan sebagai bentuk kebohongan karena memang bisa ditepati dan bisa pula diingkari. Rakyat tidak bisa menuntut pertanggungjawabannya jika janji diingkari. Paling-paling mereka menunggu lima tahun lagi.

Hal ini terekam kuat dan membentuk persepsi para pemilih. Persepsi ini mampu menggerakkan orientasi pemilih. Minimnya analisis tandingan terhadap klaim pemerintah menyebabkan monopoli wacana di ruang publik. Apalagi dalam konteks masyarakat paternalistis seperti Indonesia, kritik dilihat sebagai pemfitnahan.

Kritik dianggap sebagai perbuatan jahil. Kelemahan ini digunakan oleh politisi dengan memposisikan diri mereka sebagai orang yang dizalimi. Masyarakat pun memihak orang yang dianggap jadi korban penzaliman. Rakyat yang tidak beruntung, yang tidak mampu bersaing dalam konteks global, dalam ekonomi kapitalis, merasa diri sebagai korban dari sistem ekonomi yang tidak mengenal belas kasihan. Solidaritas terbentuk dari rasa dikorbankan oleh pembangunan dan tindakan-tindakan lainnya. Dalam masyarakat transisi dari praktik kekuasaan otoriter ke demokrasi, hal semacam ini akan menjadi efektif untuk pencitraan diri.

Menurut persepsi masyarakat, janji setali tiga uang dengan kebohongan. Di tempat-tempat pertemuan, saya sering mendengar kata ini: sekarang memberi janji, kalau sudah mendapatkan kursi kekuasaan, lupa pada janji. Dulu sebelum jadi anggota Dewan, senasib sepenanggung dengan tetangga. Setelah jadi anggota Dewan, dekat di mata jauh di hati. Di dalam diskusi-diskusi juga sering terlontar keluhan adanya perubahan perilaku sebelum dan sesudah menjadi anggota Dewan. Sebelum pemilu, kita semua saudara. Setelah dapat kursi, orang tenggelam di balik pintuk mobil.

Jangan-jangan inilah alasannya mengapa orang di sebelah rumah atau tetangga yang jadi calon anggota legislatif tidak mau dipilih oleh tetangganya. Perubahan sikap dan pola hidup menimbulkan rasa kecewa. Masyarakat lihat elite birokrasi dan elite legislatif bersekutu dalam pesta pora uang rakyat dengan berbagai modus: perjalanan dinas, kolusi proyek, dan fasilitas lainnya. Mereka menghabiskannya di Kupang, di Surabaya, di Jakarta, dan di tempat-tempat enak lainnya.

Barangkali inilah yang melahirkan sikap pramgatis. Pengingkaran terhadap janji dan komitmen pada rakyat melahirkan pragmatisme dalam bersikap: kami tidak mau lagi makan janji. Kami minta jatah duluan: sembako, sarimie, dan uang. Di manakah kepentingan umum? Dia sudah ditempatkan di sudut belakang kehidupan oleh perilaku berpolitik tanpa etika dan moralitas.

Ende, 2 Mei 2009


Read more...

27 April 2009

Sebelum Jago Berkokok

Oleh Frans Obon

Kamis pagi, 9 April 2009, saya memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS) yang letaknnya tidak jauh dari rumah kami. Kami sekeluarga beruntung karena masuk dalam daftar pemilih tetap baik untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT Juni 2008 maupun pemilihan bupati dan wakil bupati Ende, Oktober 2008. Kami ikut antre di luar TPS. Berdiri sebentar dengan beberapa orang di situ, lalu masuk ruang tunggu. Saya urutan ketiga dari terakhir sebelum pemungutan suara ditutup pada pkl. 12.00.

Saya kembali ke rumah sebentar untuk santap siang. Kira-kira 14.30 saya pergi lagi ke TPS untuk mengikuti penghitungan suara. Saya membawa kamera dan mengambil beberapa gambar. Gambar-gambar itu saya publikasikan di Harian Flores Pos pada beberapa edisi.


Saya hanya bertahan hingga selesai penghitungan suara untuk DPRD Ende. Karena pada sore hari nanti, saya dan keluarga akan mengikuti perayaan Kamis Putih. Saya mesti siapkan sedikit tenaga dan pikiran. Saya tidak bisa bayangkan kalau saya ikut dalam pencalonan anggota legislatif – saya pernah jadi calon legislatif pada Pemilu 2004 dari PDI Perjuangan – betapa konsentrasi saya terpecah. Seandainya saya ikut, telah membuang banyak energi dan tenaga, lalu hasilnya tidak maksimal, betapa suasana batin saya tidak karuan. Di televisi, kita lihat ada caleg di Jawa dan di beberapa tempat lainnya mengalami stres bahkan ada yang bunuh diri. Jika suasana batin tak karuan, sebuah omong kosong kalau saya mengatakan, saya tetap berkonsentrasi mengikuti perayaan. Bukan pada hari itu saja, pengaruhnya bisa berminggu-minggu. Alangkah naifnya kalau ada yang mengatakan, tidak ada masalah.

Saya putuskan kembali ke rumah dan tidak lagi ikut penghitungan suara untuk DPRD NTT, DPR RI dan DPD. Karena setelah perayaan misa Kamis Putih nanti, masih ada giliran penyembahan sakramen mahakudus di Paroki. Perayaan ini berlangsung sepanjang malam dan umat berdoa di depan sakramen mahakudus secara bergilir. Doa vigili: berjaga-jaga bersama Yesus sambil berdoa.

Ketika sejak 1980-an terjadi pencemaran hostia di Flores dan orang Flores sadar bahwa ini adalah sebuah provokasi dengan melecehkan inti iman Katolik, muncul refleksi bahwa mungkin karena sikap tidak hormat terhadap sakramen mahakudus itulah yang membuat kasus-kasus pencemaran hostia sering terjadi. Karenanya perlu ada pertobatan. Orang Katolik mesti menyesali dosa dan kelalaiannya dan membarui semangat mereka untuk menghormati sakramen mahakudus itu.

Tepat pukul 01.00 malam itu, saya ke gereja. Saya berlutut di bangku agak ke tengah dari deretan terakhir. Setengah jam saya ikut berdoa bersama, lalu kembali ke rumah. Malam itu adalah malam drama penangkapan Yesus. Pikiran saya tidak tertuju pada Yudas Iskariot, tetapi pada Petrus. Saya ingin merefleksikan tokoh ini. Dialah batu karang di atasnya Gereja Kristus didirikan. Tokoh ini menggambarkan sebuah heroisme di satu sisi dan kerapuhan manusia di sisi lain. Dia mau mempertaruhkan nyawanya untuk Yesus sebelum drama penangkapan, tetapi pada saat penangkapan Yesus dia menyangkalnya sebanyak tiga kali sebelum ayam (jago) berkokok.

Yudas mengkhianati Yesus, lalu menyesal, melemparkan uang hasil pengkhianatannya, dan mati bunuh diri. Sedangkan Petrus, tiga kali dia menyangkal Yesus di depan publik. Dia kecut di depan publik dengan mengingkari keberadaannya sebagai murid Tuhan. Ketakutan untuk mengakui bahwa dia “murid orang itu” di depan publik. Ya, ketakutan. Namun bedanya Petrus menyesal dan bangkit dari keterpurukannya. Dia bertobat. Beralih dari menyangkal Yesus di depan publik menjadi pewarta Kristus yang paling gigih kemudian. Dia bangkit dari keterpurukannya dan meletakkan dasar bagi Gereja Kristus. Tuhan menggenapi janjinya bahwa di atas batu karang inilah Dia mendirikan GerejaNya yang tidak akan goyah sepanjang zaman.

SIKAP kecut dan takut bicara di depan publik untuk menampilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan adalah fakta empiris dalam praksis politik di Flores. Banyak orang mencemaskan situasi ini. Orang tidak berani bicara di depan pelanggaran nilai-nilai.

Pada pertemuan di aula Marinus Krol di Paroki Onekore, 27 Maret 2009 lalu, dosen teologi politik Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dan yang juga Provinsial Serikat Sabda Allah (SVD) Pater Amatus Woi SVD mengatakan, politisi Katolik mesti berani bicara di depan pelanggaran nilai-nilai. Pada pertemuan yang mengambil tema “Pencerahan dan Pendidikan Politik Rasul Awam”, dia menegaskan perlunya politisi Katolik menampilkan jati dirinya dengan berada di garda terdepan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas serta kesejahteraan umum sebagian bagian esensial dari praksis politik yang benar.

Dalam bahasa agama, perlu ada spiritualitas politik yang benar. Spiritualitas adalah semangat dasar, motivasi, cita-cita baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok dalam keterlibatan sosial. Politik adalah medan pengabdian politisi Katolik.

Pengabdian, bukan pekerjaan. Bukan sekadar kesempatan mengais rejeki. Totalitas berkarya amat dituntut dari praksis politik yang bersumber dari spiritualitas semacam ini. Politik sebagai medan pengabdian dan panggilan bagi politisi Katolik mengandung konsekuensi etis dengan membersihkan politik dari kekotoran. Biarkan politik itu berjalan di dalam bingkai moral dan etika.

Karena itu ukurannya bukan terletak pada semangat awam untuk mengikuti perayaan ekaristi atau tugas-tugas liturgis lainnya di Gereja, tetapi medan bakti kaum awam adalah politik. Mengutip kata-kata Nabi Amos (Amos, 5:21-24): “Aku membenci, Aku menghina perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tapi biarkanlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”. Biarkan keadilan, kebenaran, dan kedamaian mengalir bagaikan air.

Yang banyak dikritik kemudian adalah bagaimana memecahkan budaya bisu (silent culture) politisi-politisi Katolik di Flores di depan pelanggaran nilai-nilai, moralitas, dan etika berpolitik. Politik beretika itu dicirikan oleh orientasinya bagi kepentingan umum, membangun solidaritas dengan masyarakat terpinggirkan, menghindari pembangunan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan yang merendahkan martabat pribadi manusia. Politisi Katolik mesti membangun kepekaan terhadap nasib dan kehidupan rakyatnya.

Masalahnya memang karena politisi kita mau mengeluarkan agama dari praksis politiknya. Agama dibawa ke ranah penghayatan pribadi. Ada pembelokan arah penghayatan agama untuk kesalehan pribadi, bukan kesalehan sosial. Praksis politik kita tidak lagi dijiwai dan dilandasi oleh Kabar Gembira (euangelion). Ada pengingkaran terhadap nilai-nilai Injili. Dalam praksis politik, kita mengingkari bahwa kita “bukan murid orang itu”. Kita masih berada dalam situasi sebelum jago berkokok. Kita belum melampaui fase ini.

Ende, 27 April 2009
Read more...

23 April 2009

Mbay, Nagekeo, dan Mimpi Elite Politik

Babak Baru, Pemimpin Baru

Oleh Frans Obon

Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo termasuk salah satu daerah strategis di pulau Flores. Daerah ini yang terletak di bagian utara Flores, amat memungkinkan terbukanya akses yang lebih besar ke Surabaya, Makassar dan kawasan timur lainnya di Indonesia. Wilayah utara sepanjang Flores memang strategis, terbentang dari Labuan Bajo ibu kota Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Flores hingga Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.

Pemerintahan fasis militer Jepang pada masa Perang Dunia II pernah membangun sebuah lapangan terbang di Mbay dengan nama Lapangan Terbang (Lapter) Surabaya II. Tentu saja lapangan ini dibangun demi kepentingan militer Jepang untuk memudahkan kontrol terhadap wilayah timur Indonesia dalam konteks perang pasifik. Para pastor Katolik dari Belanda, Jerman, dan Eropa Timur lainnya yang bekerja di Flores dibuang ke Makasar pada masa pendudukan Jepang.


Sarana transportasi laut juga memungkinkan Mbay menjadi salah satu pusat perdagangan di masa depan. Labuan Bajo, di Manggarai Barat, Reo di Kabupaten Manggarai, Marapokot di Mbay Kabupaten Nagekeo dan Sadang Bui Maumere adalah titik-titik singgah yang aman bagi kapal-kapal berukuran besar di pantai utara Flores.

Dengan potensi ini ke depan Mbay akan meninggalkan induk semangnya Kabupaten Ngada dalam mobilitas penduduk dan peningkatan sumber pendapatan bagi pemerintah daerah. Ngada memiliki Aimere sebagai pelabuhan menuju Kupang. Wae Wole di Kabupaten Manggarai Timur akan menjadi pelabuhan tetangga terdekat. Tetapi letaknya di bagian selatan Flores membuat pelabuhan itu tidak akan semaksimal seperti Marapokot di utara. Sebab bagaimanapun Surabaya tetap menjadi pintu masuk strategis ke pulau Jawa. Apalagi Surabaya masih menjadi salah satu pusat industri dan perdagangan di ujung timur pulau Jawa. Sebagai daerah industri, Surabaya akan tetap membutuhkan bahan baku dari wilayah timur Indonesia. Jumlah penduduk yang makin bertambah dan gerak pembangunan yang mulai menggeliat di bagian timur Indonesia akan menjadi pasar potensial di masa depan.

Demikian pula dalam relasinya dengan Makassar, Sulawesi Selatan, menuju wilayah timur lainnya di Indonesia Mbay tetap diuntungkan. Sekarang mungkin belum terasa karena Jawa masih menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan industri di Indonesia, dan konsentrasi penduduk terbesar, yang dari segi pasar menjadi konsumen potensial. Kejenuhan dan menipisnya sumber daya alam di Pulau Jawa memungkinkan berpindahnya pusat industri ke luar Jawa.

Nostalgia
Mbay menyimpan begitu banyak nostalgia di dalam pembangunan di Ngada dan Nusa Tenggara Timur. Dataran Mbay yang luas dan subur pernah masuk dalam kamus jargon pembangunan Orde Baru sebagai lumbung beras. Dana miliaran rupiah telah dikucurkan untuk membangun dan menata dataran Mbay dan sekitarnya, tetapi Mbay masih tetap seperti yang kita saksikan sekarang.

Yang masih segar dalam ingatan kita adalah ditetapkannya Mbay sebagai pusat pertumbuhan di Flores-Lembata dengan dibentuknya Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) Mbay).

Pada tahun 1990-an, Soeharto meluncurkan program pengembangan kawasan timur Indonesia (go east policy). Sebagai bagian dari program go east policy itu, April 1996 Soeharto meresmikan 13 Kapet, 12 di antaranya terdapat di wilayah Indonesia bagian timur. Mbay termasuk salah satunya. Meski namanya Kapet Mbay, namun cakupan kawasannya kemudian meliputi seluruh pulau Flores.

Rakyat Nagekeo, yang di kala itu masih satu dengan Kabupaten Ngada, menyambut gembira. Di Mbay, suku Lape menyerahkan tanah dalam sebuah upacara kepada Bupati Ngada Yohanes Samping Aoh (1994-1999). Lambert Ruto mewakili sukunya mengucapkan bhea sa. Rakyat dalam kasus ini lagi-lagi diminta berkorban untuk apa yang menjadi legitimasi kekuasaan Orde Baru: pembangunan. Kita semua tahu bahwa Orde Baru memang membangun legitimasi kekuasaannya dengan pembangunan. Apa dan berapapun harga yang harus dibayar, Orde Baru akan melakukannya. Atas nama pembangunan, orang-orang yang tidak berdaya, orang miskin, orang papa, dan yang terpinggirkan, bisa saja dikorbankan. Namun krisis ekonomi 1998 sekali lagi menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan Orde Baru runtuh. Kekuasaannya pun tidak bisa dipertahankan lagi.

Dengan demikian hingga turun dari kursi kepresidenan Mei 1998, program Kapet termasuk Kapet Mbay hanyalah retorika politik pembangunan Soeharto. Pencarian legitimasi kekuasaan di atas kesuksesan ekonomi Orde Baru ternyata gagal dengan munculnya krisis keuangan, lalu krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Krisis itu telah pula melahirkan krisis Mei 1998 di Jakarta hingga pertikaian etnik di Indonesia: Maluku, Poso, dan Sambas.

Saya pernah menulis mengenai Kapet Mbay dengan judul Go East Policy, What Went Wrong? Apa yang salah dengan Kapet? Menurut Menteri Percepatan Pembangunan Indonesia Timur di era Presiden Megawati, Manuel Kaisiepo pada pertemuan di Kupang, beberapa Kapet sukses mendatangkan investor, tetapi beberapa Kapet gagal, termasuk yang gagal adalah Kapet Mbay. Menurut Kaisiepo, Kapet yang terbilang sukses adalah Bitung-Manado, Pare-pare, Kathulistiwa (Kalimantan Barat), Sesama (Kalimantan Timur), Batu Licin (Kalimantan Selatan), Biak (Papua).

Bagaimana dengan Mbay? Kapet Mbay gagal karena dua alasan. Pertama, fasilitas dan infrastruktur yang minim seperti telepon, internet, dan transportasi yang buruk, sehingga menyulitkan investor menanamkan duitnya di Mbay. Kedua, minimnya profesionalisme dan semangat wirausaha. Dalam kasus Mbay misalnya, ditunjuknya gubernur sebagai pejabat ex officio dan para pensiunan pegawai negeri sipil sebagai direktur eksekutif membawa persoalan sendiri. Kaisiepo benar ketika mengatakan dua alasan ini menjadi sebab Kapet gagal. Megawati pernah mengatakan bahwa birokrasi Indonesia seperti keranjang sampah.

Media pernah melaporkan bahwa diperkirakan miliaran dana telah dihabiskan oleh badan eksekutif untuk mempromosikan Kapet ini ke berbagai ajang dan kesempatan. Beberapa seminar digelar untuk membahas langkah konkret implementasi Kapet. Seminar di Darwin, pertemuan Manado, promosi di Jepang dan Eropa. Tapi hasilnya tidak ada investasi.

Bisa saja orang menyalahkan perubahan rejim kekuasaan di Indonesia, transisi politik dan krisis ekonomi 1997 sebagai alasan dasar Kapet gagal. Namun sebetulnya sejak awal 12 Kapet di Indonesia bagian timur lebih sebagai retorika politik Soeharto. Tidak ada kemajuan yang riil dalam implementasinya.

Pada tingkat lokal, Kapet ini gagal juga karena isu primordialisme. Kekurangan fasilitas untuk menunjang Kapet pernah disiasati dengan keputusan memindahkan ibu kota Kabupaten Ngada ke Mbay sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis, namun gagal.

Kedua, hilangnya kepercayaan masyarakat lokal. Pemerintah akhirnya mesti berjuang mengembalikan kepercayaan masyarakat lokal. Saya kira hal ini menjadi sangat krusial. Untuk menyukseskan Kapet, masyarakat dimobilisasi untuk menyerahkan tanah ke pemerintah baik untuk membangun kantor bupati maupun kantor kapet.

Apa yang terjadi setelah lima tahun? Masyarakat kecewa. Masyarakat sudah menyerahkan tanah yang tidak mungkin dapat diambil kembali kepada pemerintah dengan menjanjikan pembangunan yang lebih sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat. Tetapi pengorbanan itu seakan disia-siakan.

Oke, lihatlah ke Depan
Kesimpulan sederhana dari tulisan saya adalah florinese people need a new chapter of Kapet Mbay (Orang Flores memerlukan babak baru dari Kapet Mbay). Artikel ini saya tulis tahun 2004 sebelum Nagekeo terbentuk sebagai kabupaten. Pembentukan Nagekeo sebagai kabupaten baru melalui Undang-Undang No. 02/2007 yang ditopang tujuh kecamatan yakni Kecamatan Aesesa, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Keo Tengah, dan Aesesa Selatan, kembali memperkuat keyakinan saya bahwa Kabupaten Nagekeo adalah babak baru untuk menjawabi harapan dan keinginan rakyat untuk menata daerah itu secara baru.

Kapet Mbay sebagai sebuah gagasan membangun ekonomi dalam konteks kawasan terpadu jauh lebih kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan Nagekeo sebagai sebuah kabupaten. Dari segi otoritas, keputusan ada di Nagekeo, bukan lagi di Kupang dan Jakarta. Anggaran jauh lebih terjamin. Rentang kendali sudah diperpendek.


Apa yang diperlukan sekarang adalah, saya kembali lagi pada keyakinan pribadi saya, bahwa pembentukan Kabupaten Nagekeo harus dapat pula mengubah cara pandang rakyat Nagekeo untuk membangun daerah itu. Rakyat Nagekeo harus melihatnya secara baru dan dalam cara pandang baru. Cara pandang baru dicirikan oleh cara pandang yang lebih segar (fresh look). Kata kunci dari ini semua adalah kita membutuhkan perubahan dan pemimpin yang mampu membawa perubahan. Kita memerlukan tokoh baru, orang muda, energik, dan cerdas untuk meletakkan dasar Kabupaten Nagekeo.

Oke, mari kita lihat ke depan dengan ambil contoh di tempat lain. Kecenderungan besar seleksi pemimpin di dunia sekarang adalah memilih tokoh-tokoh muda yang cerdas, yang teguh pendiriannya, punya ide membangun, dan integritasnya tinggi.


Ratu Inggris mencabut penghargaan yang pernah diberikan kepada Robert Mugabe dari Zimbawe karena kehendaknya untuk terus berkuasa di negaranya. Mugabe tidak memberikan kesempatan bagi munculnya tokoh-tokoh baru di panggung politik di negaranya. Dia ingin mengekalkan kekuasaannya selama tiga dasawarsa dan akan terus mempertahankannya ke depan. Tokoh seperti ini dan masih banyak tokoh lainnya di dunia tidak ingin mati sebagai rakyat biasa, melainkan sebagai orang yang tetap berkuasa.

Di Amerika Serikat, perang Vietnam telah memberi dampak politik bagi pencalonan presiden Amerika Serikat. Calon presiden Amerika Serikat, yang di belakang kepalanya mau jadi polisi dunia, menggunakan isu keterlibatan para calon dalam perang Vietnam untuk meraih suara. John Kerry dari Demokrat menggunakan isu tersebut, tapi kalah. Sekarang John McCain dari Republik menggunakan isu perang Vietnam untuk meraih dukungan. McCain adalah bekas pilot Amerika yan pernah ditawan dalam perang Vietnam. Barack Obama dari Demokrat mengusung perubahan sebagai tema kampanye (Change, We Can Believe In). Obama, senator kulit hitam dari Illinois menggaet pemilih dengan isu perubahan. Ini berarti rakyat Amerika mendambakan darah segar baru dalam politik Amerika.

Perang di Irak, peran Amerika di Timur Tengah, telah mempengaruhi cara pandang rakyat Amerika. Pemilih muda di Amerika melihat bahwa mereka membutuhkan babak baru di dalam politik Amerika. Sebuah babak kehidupan tatanan global yang lebih damai, bukan perang. Orang Amerika mengimpikan visi baru yang lebih cerdas dan lebih segar dalam menata Amerika. Orang-orang Amerika memimpikan pemimpin-pemimpin muda yang lebih energik dan lebih cerdas seperti John F. Kennedy dan Robert B Kennedy.

Karenanya ketika Obama tampil dalam reli kampanye untuk merebut tiket dari Demokrat, orang mengingat kembali pada figur dan tokoh John F Kennedy yang muda, cerdas, dan energik. Kennedy memang menjadi pemimpin dalam usia muda dan sukses serta tetap dikenang rakyat Amerika sampai sekarang sebagai sumber inspirasi dalam politik rakyat Amerika.

Saya pun melihat rakyat Nagekeo merindukan figur muda yang energik dan cerdas, teguh pendiriannya, dan integritasnya terjamin. Rakyat Nagekeo mesti mampu melihat ke depan dengan cara baru dan cara pandang yang lebih segar. Babak baru, pemimpin baru (new chapter, new leader). Sayapun percaya rakyat Nagekeo terutama generasi-generasi mudanya akan lebih cerdas memilih pemimpinnya.

Flores Pos | Opini | Mbay
| Juli 2008 |
Read more...

17 April 2009

Sepotong Daun Palma

Oleh Frans Obon

SEORANG anak lelaki duduk di pintu gerbang masuk Paroki Onekore, Keuskupan Agung Ende, Flores. Dia menjajakan daun palma. Setangkai dibagi tiga. Sepotong seribu rupiah. Istri saya Caroline membeli dua: satu untuk dirinya, satu lagi untuk saya. Dua ribu rupiah.

Sebenarnya Sabtu sore, saya mau membeli daun palma di Pasar Potulando – yang di Ende dikenal dengan nama Pasar Senggol karena tempatnya sempit sehingga pengunjung berdesak-desakan. Konon kalau tersenggol di sini bisa dimaafkan karena memang tempatnya sempit. Pasar ini penuh dengan pedagang tradisional: ibu-ibu penjual sayur, beras, ikan. Pendeknya sembako.
Di samping sisi kiri dan kanan pasar penuh dengan pedagang sepatu dan pakaian.


Niat itu batal. Istri saya bilang nanti beli saja di depan paroki. Biasanya tiap tahun ada yang jual. Awalnya saya cemas, jangan-jangan tidak ada yang jual daun palma di depan paroki. Ini akan jadi repot.

Saya perhatikan daun palma itu. Satu dibagi tiga. Dalam hati saya pikir, andaikata Yesus datang mengendarai keledai memasuki Kota Ende, saya angkat daun palma yang sepotong begini. Sambutan macam apa itu. Menyambut Tuhan dengan sepotong daun palma?


MANUSIA modern bilangnya makhluk cogito ergo sum (saya pikir maka saya ada). Ini semboyan Rene Descartes, filsuf Prancis. Slogan ini menandakan awal dimulainya era modern, yang segala-galanya diukur dengan akal. Kita butuhkan pencerahan akal, tentu saja. Masa kita tidak berpikir dulu baru bicara. Manusia perlu merefleksikan hidupnya agar hidup terus disempurnakan dan mencapai kepenuhannya. Setuju bahwa hidup memang mesti direfleksikan agar menemukan kepenuhannya. Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dihidupi, kata orang bijak.

Sepotong daun palma? Ini kan sekadar simbol saja. Mengapa mesti susah-susah? Bukankah peristiwa ini sebuah kenangan mengenai peristiwa penyambutan Yesus ketika memasuki Kota Yerusalem? Yesus sempat sedih tatkala melihat kota Yerusalem. “Yerusalem- Yerusalem, kelak tidak ada satu batu di atas batu yang lain”. Yerusalem memang dihancurkan oleh Jenderal Titus tahun 70 SM.

Yerusalem, pusat agama Yahudi, kota suci Tuhan yang agung dihancurkan. Runtuh. Berantakan. Teknologi buatan tangan manusia ternyata tidak bertahan. Mudah dihancurkan oleh nafsu kuasa manusia. Teknologi ciptaan manusia bukan lagi melayani kebutuhan manusia untuk mencapai kepenuhan kemanusiaannya, tapi berbalik menguasai manusia. Lihatlah bagaimana handphone mengusik kekhyusukan doa. Orang pergi sembayang di gereja, di komunitas basis masih bawa HP. Ngak ngik ngok mengganggu orang lain. Tapi yang punya merasa biasa. Terkejut sebentar lalu, diam mengulani terus menerus di lain kesempatan.

Manusia modern memang hidup dalam budaya instan. Mau cari enak dan gampang sendiri. Merelatifisir semua hal. Paus Benediktus XVI bilang, musuh besar manusia modern adalah relativisme.

Saya lalu berpikir: jangan-jangan saya terperangkap dengan musuh besar relativisme ini. Daun palma sepotong menyambut Tuhan? Jauh di dalam hati kecil saya, peristiwa Palma sungguh memberikan makna penting dalam penghayatan iman saya yang tidak sebesar biji sesawi. Dunia ekonomi modern telah mendikte saya. Anak tersebut telah memotongnya jadi tiga. Dia ikut prinsip ekonomi dagang: memecahkan satu produk dalam satuan kecil yang mudah terjangkau pembeli.

Pater Didakus Diwa SVD bicara mengenai pengorbanan diri bagi kebaikan umum dalam kotbah misa Minggu Palem itu. Dia bercerita tentang cerita rakyat Taiwan dan kepercayaan tradisional suku yang gemar mengorbankan darah manusia saat musim tanam tiba. Pengorbanan gubernur yang menghentikan kebiasaan buruk suku itu adalah peristiwa terakhir, yang melahirkan kesadaran baru di kalangan suku agar tidak mengorbankan lagi darah manusia. Pengorbanan gubernur memutuskan semua tradisi lama dan dimulainya tradisi baru. Pengorbanan Kristus satu kali dan tak akan pernah terulang lagi mengakhiri manusia lama kita dan kebangkitannya pun mengenakan pada kita manusia baru. Pengorbanan Kristus, kata imam dari Serikat Sabda Allah ini, mesti mengakhiri kebiasaan buruk kita juga.

Sepotong daun palma. Dia menceritakan mentalitas manusia modern. Sebentar berdiri di sini, sebentar berdiri di sana. Rakyat mengeluk-elukkan Yesus saat masuk Kota Yerusalem. Beberapa hari kemudian meneriakkan: salibkan Dia. Salibkan Dia. Perubahan sikap yang begitu cepat menggambarkan dengan utuh mentalitas manusia modern. Di mana gula, di situ semut. Pagi lain, siang lain, sore lain, dan malam sudah lain lagi. Relativisme telah merasuk dan merusak hidup manusia modern.

Umat yang hadir tampaknya tidak mengetahui bahwa pada akhir perayaan Minggu Palma, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota menerbitkan satu surat tentang sikap keuskupan mengenai pemilu pada Kamis Putih. Uskup bilang, telah banyak usaha untuk menggeser Hari Pemilu setelah perayaan Paska. Tapi semua usaha itu berakhir tanpa hasil. Uskup bilang, umat perlu menerimanya dan tidak menjadikan hal itu alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu nasional. “Jangan serahkan kepada orang lain untuk menentukan nasib kita. Kita perlu memberikan suara”. Uskup tidak ingin umatnya ambil sikap apatis, masa bodoh, dan tidak menggunakan hak pilihnya. Umat diajak memilih dan ikut menentukan orang yang akan menentukan kebijakan umum.
“Jangan serahkan kepada orang lain untuk menentukan nasib kita”. Saya ingat kata-kata itu. Keuskupan, selain surat Gembala Prapaska, telah menggelar pertemuan agar umat memilih dengan cerdas, memilih calon yang berkompeten, berkarakter, dan punya komitmen. Tapi pemilih memilih menurut perhitungannya sendiri, menurut kepentingan sendiri. Relativisme telah merasuk. Orang tidak lagi berpikir tentang kebaikan umum. Semua begerak menurut prinsip pragmatis: tidak ada makan siang yang gratis kawan!

Ende, 17 April 2009

Read more...

Visi, Misi, dan Gizi Politik

Oleh Frans Obon

PADA Pemilu 2004 lalu, almarhum Nurcholish Madjid bicara soal visi, misi, dan gizi dalam praktik politik di Indonesia. Dia bilang kala itu, praktik politik Indonesia tidak hanya memerlukan visi dan misi, yang bisa menakar kemampuan dan intelektualitas calon pemimpin, melainkan juga memerlukan gizi. Gizi tidak lain adalah bagaimana uang bekerja dalam politik di Indonesia.

Di dalam praktiknya, sejak Pemilu 1999 dalam ranah publik orang gencar berbicara soal praktik politik uang (money politics). Sampai di daerah-daerah, bahkan di kampung-kampung orang bicara money politics. Apa persis arti dari kata itu bukanlah soal. Yang umum diketahui bahwa uang dipakai untuk membeli suara rakyat.


Kata itu begitu gencar dituduhkan ke Dewan hasil Pemilu 1999 karena praktik-praktik politik yang korup. Kedudukan DPRD dalam UU No. 22/1999 cukup kuat. DPRD-lah yang memilih bupati dan wakil bupati. DPRD diberi kewenangan menjatuhkan bupati dan wakil bupati. Posisi yang kuat itu memang cenderung disalahgunakan. Seperti kata Lord Acton power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut cenderung disalahgunakan secara absolut pula). Kekuasaan, apapun bentuknya sesuai dengan adagium ini, cenderung diselewengkan. Karenanya kekuasaan perlu dikontrol.

Dalam sistem ketatanegaraan modern prinsip trias politica adalah cara menyeimbangkan kekuasaan dari masing-masing lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Tetapi dalam praktiknya tiga institusi ini seringkali berkolusi. Semua itu terjadi karena adanya sikap tunduk di bawah penggunaan anggaran. Akumulasi anggaran yang begitu besar di eksekutif membuat dua lembaga lainnya yakni yudikatif dan legislatif cenderung bergerak menyokong eksekutif.

Di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebelum berlakunya pemilihan langsung, bupati dan wakil bupati dipilih menjelang akhir masa jabatan DPRD. Rentang waktu lima tahun tersebut adalah sebuah kesempatan bagi calon yang incumbent dan DPRD berkolusi. DPRD yang diberi kewenangan untuk memilih “dipelihara sedemikian rupa” sehingga mereka berada dalam suatu kondisi ketergantungan yang luar biasa. Mereka bisa menutup mata terhadap aspirasi masyarakat. Pertemuan-pertemuan politik digelar di Kupang, Surabaya, dan Jakarta ataupun di tempat-tempat yang lebih aman, yang jauh dari awasan masyarakat.

Pertarungan lalu terjadi pada wacana. Praktik politik uang (money politics) bergeser ke political cost. Politik membutuhkan ongkos dan karenanya tidak salah kalau politik memerlukan dan mengeluarkan biaya. Kalau kita mobilisasi massa, bukankah kita membutuhkan dana? Inilah yang disebut political cost, kata mereka. Money politics dan political cost sesungguhnya hanya berbeda dalam modus operandi-nya. Banyak orang berada di sekitar politisi bukan karena kesamaan kepentingan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat umum (bonum commune) melainkan untuk mendapatkan apa dari persekutuan politik tersebut (who gets what).

Karenanya kita tidak perlu heran mengapa tim sukses menjadi kaya mendadak? Calon ketiba sial, yang kenyang adalah tim suksesnya. Dia mendapatkan uang dari biaya politik tersebut, entah dana penggalangan massa atau dana pemenangan. Logikanya tetap sama: tidak ada makan siang yang gratis.

Isu money politics disempitkan pada soal “pembelian suara” yang dipengaruhi oleh uang. Artinya orang menjatuhkan pilihannya karena dia telah menerima uang. Tetapi tidak menyentuh esensi dari penilaian etis atas praktik politik uang. Namun pengertian demikian, yang terbilang sempit ini, tetap saja mencederai nilai-nilai moral. Karena isunya kemudian beralih: terima uangnya, jangan pilih orangnya. Pertanyaan etis di sini adalah bolehkah kita menerima dan menggunakan uang tersebut. Bukankah kita menyalahi prinsip kejujuran? Bolehkah kita menggunakan uang yang bukan hak kita untuk menerimanya? Bolehkah kita menggunakan uang hasil dari akibat ketidakjujuran?

Akan jauh lebih baik dari segi etis kalau kita menolak dengan tegas uang-uang semacam itu daripada kita terima. Kita katakan tidak untuk semua bentuk pemberian uang yang dapat mempengaruhi otonomi kita dalam memilih. Karena dengan ini orang-orang yang berkepentingan dalam politik tidak lagi berani menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih. Dengan demikian penolakan ini akan berubah menjadi bentuk pendidikan politik. Bahwa suara hati kita tidak bisa dibeli. Bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk kita bermain di dalam politik uang.

Visi, misi, dan gizi politik. Ada yang bilang tidak efektif kita berbicara soal visi dan misi dalam kondisi keterbatasan pemahaman dan pengertian masyarakat. Hasil survei juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak mempedulikan dengan kapabilitas calon. Masyarakat toh tidak mengerti terlalu banyak soal visi dan misi. Karena itu politisi lebih bersikap pragmatis saja: bagaimana mendapatkan dukungan massa dengan cara yang paling mudah. Untuk apa bersusah-susah bicara visi dan misi, toh masyarakat tidak terlalu banyak paham. Karena itu politisi lebih memilih mencari cara yang lebih mudah untuk mendapatkan dukungan massa.

Di tingkat lokal, hampir umum di Flores, pendekatan budaya dan keluarga besar jauh lebih efektif menggalang dukungan massa daripada kesamaan kepentingan dan ideologi. Toh juga politisi kita di tingkat lokal tidak lagi memperhatikan ideologi partai, sepak terjang anggota partai di parlemen nasional, dan agenda partai tersebut dalam konteks kebersamaan sebagai bangsa. Di tingkat lokal, orang memandang partai hanya sebagai alat dan sarana untuk mendapatkan kursi DPRD dengan segala kemudahannya. Gaji anggota DPRD yang terbilang besar untuk ukuran daerah menjadi magnet dan “lahan kerja baru” yang coba direbutkan.

Masyarakat pun minta duluan. Daripada makan janji, lebih baik makan uang sekarang. Visi dan misi disisihkan ke samping. Pemilih lebih pentingkan gizi. Gizi bisa berupa uang. Tapi bisa in natura: orang datang toh perlu makan daging. Jangan heran caleg mati kutu ketika tak terpilih. Karena dana politiknya terkuras habis. Jadi, jelang pemilu juga kesempatan memperbaiki gizi.

Ende, 17 April 2009
Read more...