23 April 2009

Mbay, Nagekeo, dan Mimpi Elite Politik

Babak Baru, Pemimpin Baru

Oleh Frans Obon

Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo termasuk salah satu daerah strategis di pulau Flores. Daerah ini yang terletak di bagian utara Flores, amat memungkinkan terbukanya akses yang lebih besar ke Surabaya, Makassar dan kawasan timur lainnya di Indonesia. Wilayah utara sepanjang Flores memang strategis, terbentang dari Labuan Bajo ibu kota Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Flores hingga Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.

Pemerintahan fasis militer Jepang pada masa Perang Dunia II pernah membangun sebuah lapangan terbang di Mbay dengan nama Lapangan Terbang (Lapter) Surabaya II. Tentu saja lapangan ini dibangun demi kepentingan militer Jepang untuk memudahkan kontrol terhadap wilayah timur Indonesia dalam konteks perang pasifik. Para pastor Katolik dari Belanda, Jerman, dan Eropa Timur lainnya yang bekerja di Flores dibuang ke Makasar pada masa pendudukan Jepang.


Sarana transportasi laut juga memungkinkan Mbay menjadi salah satu pusat perdagangan di masa depan. Labuan Bajo, di Manggarai Barat, Reo di Kabupaten Manggarai, Marapokot di Mbay Kabupaten Nagekeo dan Sadang Bui Maumere adalah titik-titik singgah yang aman bagi kapal-kapal berukuran besar di pantai utara Flores.

Dengan potensi ini ke depan Mbay akan meninggalkan induk semangnya Kabupaten Ngada dalam mobilitas penduduk dan peningkatan sumber pendapatan bagi pemerintah daerah. Ngada memiliki Aimere sebagai pelabuhan menuju Kupang. Wae Wole di Kabupaten Manggarai Timur akan menjadi pelabuhan tetangga terdekat. Tetapi letaknya di bagian selatan Flores membuat pelabuhan itu tidak akan semaksimal seperti Marapokot di utara. Sebab bagaimanapun Surabaya tetap menjadi pintu masuk strategis ke pulau Jawa. Apalagi Surabaya masih menjadi salah satu pusat industri dan perdagangan di ujung timur pulau Jawa. Sebagai daerah industri, Surabaya akan tetap membutuhkan bahan baku dari wilayah timur Indonesia. Jumlah penduduk yang makin bertambah dan gerak pembangunan yang mulai menggeliat di bagian timur Indonesia akan menjadi pasar potensial di masa depan.

Demikian pula dalam relasinya dengan Makassar, Sulawesi Selatan, menuju wilayah timur lainnya di Indonesia Mbay tetap diuntungkan. Sekarang mungkin belum terasa karena Jawa masih menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan industri di Indonesia, dan konsentrasi penduduk terbesar, yang dari segi pasar menjadi konsumen potensial. Kejenuhan dan menipisnya sumber daya alam di Pulau Jawa memungkinkan berpindahnya pusat industri ke luar Jawa.

Nostalgia
Mbay menyimpan begitu banyak nostalgia di dalam pembangunan di Ngada dan Nusa Tenggara Timur. Dataran Mbay yang luas dan subur pernah masuk dalam kamus jargon pembangunan Orde Baru sebagai lumbung beras. Dana miliaran rupiah telah dikucurkan untuk membangun dan menata dataran Mbay dan sekitarnya, tetapi Mbay masih tetap seperti yang kita saksikan sekarang.

Yang masih segar dalam ingatan kita adalah ditetapkannya Mbay sebagai pusat pertumbuhan di Flores-Lembata dengan dibentuknya Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) Mbay).

Pada tahun 1990-an, Soeharto meluncurkan program pengembangan kawasan timur Indonesia (go east policy). Sebagai bagian dari program go east policy itu, April 1996 Soeharto meresmikan 13 Kapet, 12 di antaranya terdapat di wilayah Indonesia bagian timur. Mbay termasuk salah satunya. Meski namanya Kapet Mbay, namun cakupan kawasannya kemudian meliputi seluruh pulau Flores.

Rakyat Nagekeo, yang di kala itu masih satu dengan Kabupaten Ngada, menyambut gembira. Di Mbay, suku Lape menyerahkan tanah dalam sebuah upacara kepada Bupati Ngada Yohanes Samping Aoh (1994-1999). Lambert Ruto mewakili sukunya mengucapkan bhea sa. Rakyat dalam kasus ini lagi-lagi diminta berkorban untuk apa yang menjadi legitimasi kekuasaan Orde Baru: pembangunan. Kita semua tahu bahwa Orde Baru memang membangun legitimasi kekuasaannya dengan pembangunan. Apa dan berapapun harga yang harus dibayar, Orde Baru akan melakukannya. Atas nama pembangunan, orang-orang yang tidak berdaya, orang miskin, orang papa, dan yang terpinggirkan, bisa saja dikorbankan. Namun krisis ekonomi 1998 sekali lagi menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan Orde Baru runtuh. Kekuasaannya pun tidak bisa dipertahankan lagi.

Dengan demikian hingga turun dari kursi kepresidenan Mei 1998, program Kapet termasuk Kapet Mbay hanyalah retorika politik pembangunan Soeharto. Pencarian legitimasi kekuasaan di atas kesuksesan ekonomi Orde Baru ternyata gagal dengan munculnya krisis keuangan, lalu krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Krisis itu telah pula melahirkan krisis Mei 1998 di Jakarta hingga pertikaian etnik di Indonesia: Maluku, Poso, dan Sambas.

Saya pernah menulis mengenai Kapet Mbay dengan judul Go East Policy, What Went Wrong? Apa yang salah dengan Kapet? Menurut Menteri Percepatan Pembangunan Indonesia Timur di era Presiden Megawati, Manuel Kaisiepo pada pertemuan di Kupang, beberapa Kapet sukses mendatangkan investor, tetapi beberapa Kapet gagal, termasuk yang gagal adalah Kapet Mbay. Menurut Kaisiepo, Kapet yang terbilang sukses adalah Bitung-Manado, Pare-pare, Kathulistiwa (Kalimantan Barat), Sesama (Kalimantan Timur), Batu Licin (Kalimantan Selatan), Biak (Papua).

Bagaimana dengan Mbay? Kapet Mbay gagal karena dua alasan. Pertama, fasilitas dan infrastruktur yang minim seperti telepon, internet, dan transportasi yang buruk, sehingga menyulitkan investor menanamkan duitnya di Mbay. Kedua, minimnya profesionalisme dan semangat wirausaha. Dalam kasus Mbay misalnya, ditunjuknya gubernur sebagai pejabat ex officio dan para pensiunan pegawai negeri sipil sebagai direktur eksekutif membawa persoalan sendiri. Kaisiepo benar ketika mengatakan dua alasan ini menjadi sebab Kapet gagal. Megawati pernah mengatakan bahwa birokrasi Indonesia seperti keranjang sampah.

Media pernah melaporkan bahwa diperkirakan miliaran dana telah dihabiskan oleh badan eksekutif untuk mempromosikan Kapet ini ke berbagai ajang dan kesempatan. Beberapa seminar digelar untuk membahas langkah konkret implementasi Kapet. Seminar di Darwin, pertemuan Manado, promosi di Jepang dan Eropa. Tapi hasilnya tidak ada investasi.

Bisa saja orang menyalahkan perubahan rejim kekuasaan di Indonesia, transisi politik dan krisis ekonomi 1997 sebagai alasan dasar Kapet gagal. Namun sebetulnya sejak awal 12 Kapet di Indonesia bagian timur lebih sebagai retorika politik Soeharto. Tidak ada kemajuan yang riil dalam implementasinya.

Pada tingkat lokal, Kapet ini gagal juga karena isu primordialisme. Kekurangan fasilitas untuk menunjang Kapet pernah disiasati dengan keputusan memindahkan ibu kota Kabupaten Ngada ke Mbay sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis, namun gagal.

Kedua, hilangnya kepercayaan masyarakat lokal. Pemerintah akhirnya mesti berjuang mengembalikan kepercayaan masyarakat lokal. Saya kira hal ini menjadi sangat krusial. Untuk menyukseskan Kapet, masyarakat dimobilisasi untuk menyerahkan tanah ke pemerintah baik untuk membangun kantor bupati maupun kantor kapet.

Apa yang terjadi setelah lima tahun? Masyarakat kecewa. Masyarakat sudah menyerahkan tanah yang tidak mungkin dapat diambil kembali kepada pemerintah dengan menjanjikan pembangunan yang lebih sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat. Tetapi pengorbanan itu seakan disia-siakan.

Oke, lihatlah ke Depan
Kesimpulan sederhana dari tulisan saya adalah florinese people need a new chapter of Kapet Mbay (Orang Flores memerlukan babak baru dari Kapet Mbay). Artikel ini saya tulis tahun 2004 sebelum Nagekeo terbentuk sebagai kabupaten. Pembentukan Nagekeo sebagai kabupaten baru melalui Undang-Undang No. 02/2007 yang ditopang tujuh kecamatan yakni Kecamatan Aesesa, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Keo Tengah, dan Aesesa Selatan, kembali memperkuat keyakinan saya bahwa Kabupaten Nagekeo adalah babak baru untuk menjawabi harapan dan keinginan rakyat untuk menata daerah itu secara baru.

Kapet Mbay sebagai sebuah gagasan membangun ekonomi dalam konteks kawasan terpadu jauh lebih kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan Nagekeo sebagai sebuah kabupaten. Dari segi otoritas, keputusan ada di Nagekeo, bukan lagi di Kupang dan Jakarta. Anggaran jauh lebih terjamin. Rentang kendali sudah diperpendek.


Apa yang diperlukan sekarang adalah, saya kembali lagi pada keyakinan pribadi saya, bahwa pembentukan Kabupaten Nagekeo harus dapat pula mengubah cara pandang rakyat Nagekeo untuk membangun daerah itu. Rakyat Nagekeo harus melihatnya secara baru dan dalam cara pandang baru. Cara pandang baru dicirikan oleh cara pandang yang lebih segar (fresh look). Kata kunci dari ini semua adalah kita membutuhkan perubahan dan pemimpin yang mampu membawa perubahan. Kita memerlukan tokoh baru, orang muda, energik, dan cerdas untuk meletakkan dasar Kabupaten Nagekeo.

Oke, mari kita lihat ke depan dengan ambil contoh di tempat lain. Kecenderungan besar seleksi pemimpin di dunia sekarang adalah memilih tokoh-tokoh muda yang cerdas, yang teguh pendiriannya, punya ide membangun, dan integritasnya tinggi.


Ratu Inggris mencabut penghargaan yang pernah diberikan kepada Robert Mugabe dari Zimbawe karena kehendaknya untuk terus berkuasa di negaranya. Mugabe tidak memberikan kesempatan bagi munculnya tokoh-tokoh baru di panggung politik di negaranya. Dia ingin mengekalkan kekuasaannya selama tiga dasawarsa dan akan terus mempertahankannya ke depan. Tokoh seperti ini dan masih banyak tokoh lainnya di dunia tidak ingin mati sebagai rakyat biasa, melainkan sebagai orang yang tetap berkuasa.

Di Amerika Serikat, perang Vietnam telah memberi dampak politik bagi pencalonan presiden Amerika Serikat. Calon presiden Amerika Serikat, yang di belakang kepalanya mau jadi polisi dunia, menggunakan isu keterlibatan para calon dalam perang Vietnam untuk meraih suara. John Kerry dari Demokrat menggunakan isu tersebut, tapi kalah. Sekarang John McCain dari Republik menggunakan isu perang Vietnam untuk meraih dukungan. McCain adalah bekas pilot Amerika yan pernah ditawan dalam perang Vietnam. Barack Obama dari Demokrat mengusung perubahan sebagai tema kampanye (Change, We Can Believe In). Obama, senator kulit hitam dari Illinois menggaet pemilih dengan isu perubahan. Ini berarti rakyat Amerika mendambakan darah segar baru dalam politik Amerika.

Perang di Irak, peran Amerika di Timur Tengah, telah mempengaruhi cara pandang rakyat Amerika. Pemilih muda di Amerika melihat bahwa mereka membutuhkan babak baru di dalam politik Amerika. Sebuah babak kehidupan tatanan global yang lebih damai, bukan perang. Orang Amerika mengimpikan visi baru yang lebih cerdas dan lebih segar dalam menata Amerika. Orang-orang Amerika memimpikan pemimpin-pemimpin muda yang lebih energik dan lebih cerdas seperti John F. Kennedy dan Robert B Kennedy.

Karenanya ketika Obama tampil dalam reli kampanye untuk merebut tiket dari Demokrat, orang mengingat kembali pada figur dan tokoh John F Kennedy yang muda, cerdas, dan energik. Kennedy memang menjadi pemimpin dalam usia muda dan sukses serta tetap dikenang rakyat Amerika sampai sekarang sebagai sumber inspirasi dalam politik rakyat Amerika.

Saya pun melihat rakyat Nagekeo merindukan figur muda yang energik dan cerdas, teguh pendiriannya, dan integritasnya terjamin. Rakyat Nagekeo mesti mampu melihat ke depan dengan cara baru dan cara pandang yang lebih segar. Babak baru, pemimpin baru (new chapter, new leader). Sayapun percaya rakyat Nagekeo terutama generasi-generasi mudanya akan lebih cerdas memilih pemimpinnya.

Flores Pos | Opini | Mbay
| Juli 2008 |

5 komentar:

  1. mantap...............mbaY...Love u pool

    BalasHapus
  2. mbay........ok dech,+ mantap coy.....



    mbay, i love you pooooooooooooooool....

    BalasHapus
  3. We vote Mbay for ibukota provinsi untuk dataran Flores..!!

    Putra Daerah akan selalu didepan..!!

    BalasHapus
  4. lama ga pulang mbay,,,,,,,,,
    kangennnnn euy,,,,,,,,

    BalasHapus
  5. mbay mbay mbay selalu ada dalam kehidupanku,walaupun aku jauh, namun mbay selalu dihati

    BalasHapus