27 April 2009

Sebelum Jago Berkokok

Oleh Frans Obon

Kamis pagi, 9 April 2009, saya memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS) yang letaknnya tidak jauh dari rumah kami. Kami sekeluarga beruntung karena masuk dalam daftar pemilih tetap baik untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT Juni 2008 maupun pemilihan bupati dan wakil bupati Ende, Oktober 2008. Kami ikut antre di luar TPS. Berdiri sebentar dengan beberapa orang di situ, lalu masuk ruang tunggu. Saya urutan ketiga dari terakhir sebelum pemungutan suara ditutup pada pkl. 12.00.

Saya kembali ke rumah sebentar untuk santap siang. Kira-kira 14.30 saya pergi lagi ke TPS untuk mengikuti penghitungan suara. Saya membawa kamera dan mengambil beberapa gambar. Gambar-gambar itu saya publikasikan di Harian Flores Pos pada beberapa edisi.


Saya hanya bertahan hingga selesai penghitungan suara untuk DPRD Ende. Karena pada sore hari nanti, saya dan keluarga akan mengikuti perayaan Kamis Putih. Saya mesti siapkan sedikit tenaga dan pikiran. Saya tidak bisa bayangkan kalau saya ikut dalam pencalonan anggota legislatif – saya pernah jadi calon legislatif pada Pemilu 2004 dari PDI Perjuangan – betapa konsentrasi saya terpecah. Seandainya saya ikut, telah membuang banyak energi dan tenaga, lalu hasilnya tidak maksimal, betapa suasana batin saya tidak karuan. Di televisi, kita lihat ada caleg di Jawa dan di beberapa tempat lainnya mengalami stres bahkan ada yang bunuh diri. Jika suasana batin tak karuan, sebuah omong kosong kalau saya mengatakan, saya tetap berkonsentrasi mengikuti perayaan. Bukan pada hari itu saja, pengaruhnya bisa berminggu-minggu. Alangkah naifnya kalau ada yang mengatakan, tidak ada masalah.

Saya putuskan kembali ke rumah dan tidak lagi ikut penghitungan suara untuk DPRD NTT, DPR RI dan DPD. Karena setelah perayaan misa Kamis Putih nanti, masih ada giliran penyembahan sakramen mahakudus di Paroki. Perayaan ini berlangsung sepanjang malam dan umat berdoa di depan sakramen mahakudus secara bergilir. Doa vigili: berjaga-jaga bersama Yesus sambil berdoa.

Ketika sejak 1980-an terjadi pencemaran hostia di Flores dan orang Flores sadar bahwa ini adalah sebuah provokasi dengan melecehkan inti iman Katolik, muncul refleksi bahwa mungkin karena sikap tidak hormat terhadap sakramen mahakudus itulah yang membuat kasus-kasus pencemaran hostia sering terjadi. Karenanya perlu ada pertobatan. Orang Katolik mesti menyesali dosa dan kelalaiannya dan membarui semangat mereka untuk menghormati sakramen mahakudus itu.

Tepat pukul 01.00 malam itu, saya ke gereja. Saya berlutut di bangku agak ke tengah dari deretan terakhir. Setengah jam saya ikut berdoa bersama, lalu kembali ke rumah. Malam itu adalah malam drama penangkapan Yesus. Pikiran saya tidak tertuju pada Yudas Iskariot, tetapi pada Petrus. Saya ingin merefleksikan tokoh ini. Dialah batu karang di atasnya Gereja Kristus didirikan. Tokoh ini menggambarkan sebuah heroisme di satu sisi dan kerapuhan manusia di sisi lain. Dia mau mempertaruhkan nyawanya untuk Yesus sebelum drama penangkapan, tetapi pada saat penangkapan Yesus dia menyangkalnya sebanyak tiga kali sebelum ayam (jago) berkokok.

Yudas mengkhianati Yesus, lalu menyesal, melemparkan uang hasil pengkhianatannya, dan mati bunuh diri. Sedangkan Petrus, tiga kali dia menyangkal Yesus di depan publik. Dia kecut di depan publik dengan mengingkari keberadaannya sebagai murid Tuhan. Ketakutan untuk mengakui bahwa dia “murid orang itu” di depan publik. Ya, ketakutan. Namun bedanya Petrus menyesal dan bangkit dari keterpurukannya. Dia bertobat. Beralih dari menyangkal Yesus di depan publik menjadi pewarta Kristus yang paling gigih kemudian. Dia bangkit dari keterpurukannya dan meletakkan dasar bagi Gereja Kristus. Tuhan menggenapi janjinya bahwa di atas batu karang inilah Dia mendirikan GerejaNya yang tidak akan goyah sepanjang zaman.

SIKAP kecut dan takut bicara di depan publik untuk menampilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan adalah fakta empiris dalam praksis politik di Flores. Banyak orang mencemaskan situasi ini. Orang tidak berani bicara di depan pelanggaran nilai-nilai.

Pada pertemuan di aula Marinus Krol di Paroki Onekore, 27 Maret 2009 lalu, dosen teologi politik Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dan yang juga Provinsial Serikat Sabda Allah (SVD) Pater Amatus Woi SVD mengatakan, politisi Katolik mesti berani bicara di depan pelanggaran nilai-nilai. Pada pertemuan yang mengambil tema “Pencerahan dan Pendidikan Politik Rasul Awam”, dia menegaskan perlunya politisi Katolik menampilkan jati dirinya dengan berada di garda terdepan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas serta kesejahteraan umum sebagian bagian esensial dari praksis politik yang benar.

Dalam bahasa agama, perlu ada spiritualitas politik yang benar. Spiritualitas adalah semangat dasar, motivasi, cita-cita baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok dalam keterlibatan sosial. Politik adalah medan pengabdian politisi Katolik.

Pengabdian, bukan pekerjaan. Bukan sekadar kesempatan mengais rejeki. Totalitas berkarya amat dituntut dari praksis politik yang bersumber dari spiritualitas semacam ini. Politik sebagai medan pengabdian dan panggilan bagi politisi Katolik mengandung konsekuensi etis dengan membersihkan politik dari kekotoran. Biarkan politik itu berjalan di dalam bingkai moral dan etika.

Karena itu ukurannya bukan terletak pada semangat awam untuk mengikuti perayaan ekaristi atau tugas-tugas liturgis lainnya di Gereja, tetapi medan bakti kaum awam adalah politik. Mengutip kata-kata Nabi Amos (Amos, 5:21-24): “Aku membenci, Aku menghina perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tapi biarkanlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”. Biarkan keadilan, kebenaran, dan kedamaian mengalir bagaikan air.

Yang banyak dikritik kemudian adalah bagaimana memecahkan budaya bisu (silent culture) politisi-politisi Katolik di Flores di depan pelanggaran nilai-nilai, moralitas, dan etika berpolitik. Politik beretika itu dicirikan oleh orientasinya bagi kepentingan umum, membangun solidaritas dengan masyarakat terpinggirkan, menghindari pembangunan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan yang merendahkan martabat pribadi manusia. Politisi Katolik mesti membangun kepekaan terhadap nasib dan kehidupan rakyatnya.

Masalahnya memang karena politisi kita mau mengeluarkan agama dari praksis politiknya. Agama dibawa ke ranah penghayatan pribadi. Ada pembelokan arah penghayatan agama untuk kesalehan pribadi, bukan kesalehan sosial. Praksis politik kita tidak lagi dijiwai dan dilandasi oleh Kabar Gembira (euangelion). Ada pengingkaran terhadap nilai-nilai Injili. Dalam praksis politik, kita mengingkari bahwa kita “bukan murid orang itu”. Kita masih berada dalam situasi sebelum jago berkokok. Kita belum melampaui fase ini.

Ende, 27 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar