17 April 2009

Sepotong Daun Palma

Oleh Frans Obon

SEORANG anak lelaki duduk di pintu gerbang masuk Paroki Onekore, Keuskupan Agung Ende, Flores. Dia menjajakan daun palma. Setangkai dibagi tiga. Sepotong seribu rupiah. Istri saya Caroline membeli dua: satu untuk dirinya, satu lagi untuk saya. Dua ribu rupiah.

Sebenarnya Sabtu sore, saya mau membeli daun palma di Pasar Potulando – yang di Ende dikenal dengan nama Pasar Senggol karena tempatnya sempit sehingga pengunjung berdesak-desakan. Konon kalau tersenggol di sini bisa dimaafkan karena memang tempatnya sempit. Pasar ini penuh dengan pedagang tradisional: ibu-ibu penjual sayur, beras, ikan. Pendeknya sembako.
Di samping sisi kiri dan kanan pasar penuh dengan pedagang sepatu dan pakaian.


Niat itu batal. Istri saya bilang nanti beli saja di depan paroki. Biasanya tiap tahun ada yang jual. Awalnya saya cemas, jangan-jangan tidak ada yang jual daun palma di depan paroki. Ini akan jadi repot.

Saya perhatikan daun palma itu. Satu dibagi tiga. Dalam hati saya pikir, andaikata Yesus datang mengendarai keledai memasuki Kota Ende, saya angkat daun palma yang sepotong begini. Sambutan macam apa itu. Menyambut Tuhan dengan sepotong daun palma?


MANUSIA modern bilangnya makhluk cogito ergo sum (saya pikir maka saya ada). Ini semboyan Rene Descartes, filsuf Prancis. Slogan ini menandakan awal dimulainya era modern, yang segala-galanya diukur dengan akal. Kita butuhkan pencerahan akal, tentu saja. Masa kita tidak berpikir dulu baru bicara. Manusia perlu merefleksikan hidupnya agar hidup terus disempurnakan dan mencapai kepenuhannya. Setuju bahwa hidup memang mesti direfleksikan agar menemukan kepenuhannya. Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dihidupi, kata orang bijak.

Sepotong daun palma? Ini kan sekadar simbol saja. Mengapa mesti susah-susah? Bukankah peristiwa ini sebuah kenangan mengenai peristiwa penyambutan Yesus ketika memasuki Kota Yerusalem? Yesus sempat sedih tatkala melihat kota Yerusalem. “Yerusalem- Yerusalem, kelak tidak ada satu batu di atas batu yang lain”. Yerusalem memang dihancurkan oleh Jenderal Titus tahun 70 SM.

Yerusalem, pusat agama Yahudi, kota suci Tuhan yang agung dihancurkan. Runtuh. Berantakan. Teknologi buatan tangan manusia ternyata tidak bertahan. Mudah dihancurkan oleh nafsu kuasa manusia. Teknologi ciptaan manusia bukan lagi melayani kebutuhan manusia untuk mencapai kepenuhan kemanusiaannya, tapi berbalik menguasai manusia. Lihatlah bagaimana handphone mengusik kekhyusukan doa. Orang pergi sembayang di gereja, di komunitas basis masih bawa HP. Ngak ngik ngok mengganggu orang lain. Tapi yang punya merasa biasa. Terkejut sebentar lalu, diam mengulani terus menerus di lain kesempatan.

Manusia modern memang hidup dalam budaya instan. Mau cari enak dan gampang sendiri. Merelatifisir semua hal. Paus Benediktus XVI bilang, musuh besar manusia modern adalah relativisme.

Saya lalu berpikir: jangan-jangan saya terperangkap dengan musuh besar relativisme ini. Daun palma sepotong menyambut Tuhan? Jauh di dalam hati kecil saya, peristiwa Palma sungguh memberikan makna penting dalam penghayatan iman saya yang tidak sebesar biji sesawi. Dunia ekonomi modern telah mendikte saya. Anak tersebut telah memotongnya jadi tiga. Dia ikut prinsip ekonomi dagang: memecahkan satu produk dalam satuan kecil yang mudah terjangkau pembeli.

Pater Didakus Diwa SVD bicara mengenai pengorbanan diri bagi kebaikan umum dalam kotbah misa Minggu Palem itu. Dia bercerita tentang cerita rakyat Taiwan dan kepercayaan tradisional suku yang gemar mengorbankan darah manusia saat musim tanam tiba. Pengorbanan gubernur yang menghentikan kebiasaan buruk suku itu adalah peristiwa terakhir, yang melahirkan kesadaran baru di kalangan suku agar tidak mengorbankan lagi darah manusia. Pengorbanan gubernur memutuskan semua tradisi lama dan dimulainya tradisi baru. Pengorbanan Kristus satu kali dan tak akan pernah terulang lagi mengakhiri manusia lama kita dan kebangkitannya pun mengenakan pada kita manusia baru. Pengorbanan Kristus, kata imam dari Serikat Sabda Allah ini, mesti mengakhiri kebiasaan buruk kita juga.

Sepotong daun palma. Dia menceritakan mentalitas manusia modern. Sebentar berdiri di sini, sebentar berdiri di sana. Rakyat mengeluk-elukkan Yesus saat masuk Kota Yerusalem. Beberapa hari kemudian meneriakkan: salibkan Dia. Salibkan Dia. Perubahan sikap yang begitu cepat menggambarkan dengan utuh mentalitas manusia modern. Di mana gula, di situ semut. Pagi lain, siang lain, sore lain, dan malam sudah lain lagi. Relativisme telah merasuk dan merusak hidup manusia modern.

Umat yang hadir tampaknya tidak mengetahui bahwa pada akhir perayaan Minggu Palma, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota menerbitkan satu surat tentang sikap keuskupan mengenai pemilu pada Kamis Putih. Uskup bilang, telah banyak usaha untuk menggeser Hari Pemilu setelah perayaan Paska. Tapi semua usaha itu berakhir tanpa hasil. Uskup bilang, umat perlu menerimanya dan tidak menjadikan hal itu alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu nasional. “Jangan serahkan kepada orang lain untuk menentukan nasib kita. Kita perlu memberikan suara”. Uskup tidak ingin umatnya ambil sikap apatis, masa bodoh, dan tidak menggunakan hak pilihnya. Umat diajak memilih dan ikut menentukan orang yang akan menentukan kebijakan umum.
“Jangan serahkan kepada orang lain untuk menentukan nasib kita”. Saya ingat kata-kata itu. Keuskupan, selain surat Gembala Prapaska, telah menggelar pertemuan agar umat memilih dengan cerdas, memilih calon yang berkompeten, berkarakter, dan punya komitmen. Tapi pemilih memilih menurut perhitungannya sendiri, menurut kepentingan sendiri. Relativisme telah merasuk. Orang tidak lagi berpikir tentang kebaikan umum. Semua begerak menurut prinsip pragmatis: tidak ada makan siang yang gratis kawan!

Ende, 17 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar