Oleh Frans Obon
Peraih Nobel dalam bidang ekonomi tahun 1998 Amartya Sen menulis sebuah opini: A World Not Neatly Divided (Sebuah Dunia yang Tak Terbagi dengan Rapi) (New York Times, 23 November 2001). Dunia memang tidak pernah dibagi secara ketat. Dia bilang, banyak orang keliru mengerti tesis Samuel Huntington tentang perbenturan peradaban (clash civilisation). Kelemahan dasar dari teori Huntington adalah penggunaan kategorisasi tertentu dalam menilai sebuah masyarakat. Kategori sivilisasi terkesan artifisial dan tidak konsisten sebab ada banyak cara dalam melihat masyarakat (dari perspektif politik, bahasa, kelas, afiliasi, dan lain-lain).
Karenanya klasifikasi tunggal adalah sebuah perangkap yang menjebak. Menyebutkan “dunia Islam” dan “dunia Kristen” sama artinya kita memiskinkan pengertian kemanusiaan kita karena di dalam suatu negara atau budaya, masih ada subkultur lainnya. Masih ada identitas lainnya. Ini berarti tidak ada satu kategorisasi tunggal. Mengatakan India adalah Hindu, Pakistan adalah Islam, atau Indonesia adalah Islam sama artinya kita menyangkal adanya kategorisasi lain di dalam bangsa-bangsa tersebut. Bahwa mayoritas India adalah Hindu, mayoritas Pakistan adalah Islam, dan mayoritas Indonesia adalah Islam, itu bukan berarti kategorisasi tunggal itu dibenarkan begitu saja. Ini cara yang keliru membaca India, membaca Pakistan, dan membaca Indonesia. Demikian juga membaca Barat adalah Kristen. Sebab dengan itu kita telah menyangkal kehadiran orang lain di luar identitas tersebut.
Amartya Sen mengatakan, menyebut India dengan peradaban Hindu mungkin akan menyenangkan kelompok fundamentalis, tapi ini adalah sebuah cara aneh membaca India. Karena dengan ini kita juga akan menyangkal berbagai bentuk intreaksi antarkomunitas di India. Karena itu harapan akan adanya hubungan yang harmonis dalam masyarakat tidak terletak pada keseragaman tapi pada pluralitas dari identitas kita. Jadi kesimpulan Amartya Sen, “Perampokan atas identitas plural kita tidak hanya mereduksi kita, tetapi hal itu mempermiskin dunia.”
Ketika saya membaca artikel ini, saya teringat kembali pertemuan jaringan antariman di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang digelar Dian Interfidei Yogyakarta, Juni 2006 lalu. Pertemuan ini menghadirkan peserta dari berbagai daerah di Indonesia untuk membahas kemajemukan dan interaksi antarkomunitas dalam masyarakat kita. Peserta dari Banjarmasin menyeringkan pengalaman mereka mengenai penerapan Peraturan Daerah (Perda) Syariat Islam. Mariatul Asiah dari Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakat Kalimantan Selatan membeberkan penerapan Perda Syariah di Banjarmasin bagi komunikasi antarkelompok di ruang publik.
Peserta dari Makassar bicara tentang Perda Syariah. H Aswar Hassan dari KPPSI mengatakan, Perda Syariah itu telah dibahas dan disahkan oleh DPRD sebagai representasi rakyat. Pengesahan Perda-Perda Syariah itu dilakukan melalui mekanisme demokrasi. Dengan mengatakan begini, menurut dia, pemberlakuan Perda Syariat Islam itu sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi. Semua diputuskan melalui mekanisme demokratis oleh lembaga demokrasi.
Pernyataan ini tentu menimbulkan perdebatan mengenai demokrasi prosedural dan substansi demokrasi. Pengambilan keputusan menurut prosedur demokrasi oleh lembaga resmi demokrasi yang merupakan representasi rakyat dalam sistem demokrasi tak langsung, sama sekali belum tentu mencerminkan substansi dari demokrasi itu sendiri. Keputusan tersebut tidak mencerminkan substansi demokrasi. Karena aturan itu menutup ruang bagi orang lain di luar komunitas tersebut. Padahal esensi demokrasi adalah pluralisme, kebebasan dan penghargaan terhadap individu. Karena itu demokrasi berbicara mengenai pentingnya pembedaan antara ruang publik dan ruang privat untuk menghindari pemaksaan dalam interaksi antarkomunitas.
Dalam diskusi kemudian hangat dibicarakan tempat komunitas lain di dalam pemberlakuan Perda Syariah ini. Trisno S Susanto dari Masyarakat Dialog Antariman (Madia) bertanya kepada Aswar Hassan: “Di mana tempat kami (yang bukan muslim) di dalam Perda Syariah ini”. Aswar mengatakan, justru karena Anda maka Perda Syariah ini ada.
Pertanyaan Trisno adalah pertanyaan dari banyak komunitas lainnya ketika di wilayah publik dipaksakan sebuah peraturan dari satu komunitas tertentu. “Di mana tempat kami”. Pertanyaan ini bisa diajukan di Paris, di Roma, di London, di Riyadh, di Kairo, di Tel Aviv, di Bagdad, di Istambul, di Teheran, di Asia, di Amerika, dan di Amerika Latin. Pertanyaan itu bukan saja berkaitan dengan kategorisasi agama, melainkan juga soal pandangan (filsafat hidup), soal bahasa, soal sastra, soal politik. Kekayaan sebuah komunitas dipengaruhi oleh interaksi antarkomunitas. Karena komunitas bukan sebuah sistem tertutup. Dengan demikian penyeragaman (uniformitas) adalah bentuk pengeroposan dan pengingkaran terhadap pluralisme dalam sebuah komunitas, dalam sebuah bangsa, dan sebuah negara.
Menyadari adanya perbedaan antara komunitas, maka wacana kemudian berubah ke arah pentingnya membangun interaksi yang sifatnya multikultural. Setiap komunitas didorong untuk hidup berdampingan secara damai. Ada keharusan untuk berkoeksistensi secara damai. Koeksistensi, ada bersama secara damai dengan komunitas lain akhirnya harus didorong ke arah proeksistensi.
Dengan ini tidak berarti di negara-negara yang kehidupan demokrasinya lebih maju tidak ada ketegangan akibat pluralisme ini. Tetap ada. Hanya pemerintah tidak mendorong penerapan aturan yang saling meniadakan antarkomunitas. Negara tetap bertindak sebagai penyeimbang dalam interaksi antarkomunitas. Dengan itu pula negara tetap menjamin identitas kelompok-kelompok tersebut, tanpa ada usaha untuk sebuah penyeragaman. Aturan di wilayah publik tetap mengakomodir semua kepentingan identitas komunitas di dalam sebuah negara.
Tidak ada kategori tunggal dalam sebuah daerah atau sebuah negara-bangsa. Saya kira kata itu harus terus kita gemakan di Flores. Orang-orang Flores mesti disiapkan untuk menghadapi migrasi penduduk dari luar Flores. Siapa bisa menjamin Katolik tetap menjadi mayoritas di Flores untuk puluhan tahun kemudian. Eropa berada di ambang kecemasan dengan makin banyaknya jumlah migran dari Afrika dan Asia yang tiap kali menuntut diberi tempat yang sama di benua yang bernama Eropa. Sementara jumlah penduduk Eropa terus menurun. Peta, kekuatan, dan pola interaksi antarkelompok akan berubah dan berpengaruh oleh migrasi penduduk.
Flores sebagai sebuah daerah terbuka akan menghadapi gelombang migrasi bertahun-tahun ke depan. Rakyat Flores harus dilatih dan disiapkan untuk hidup berdampingan dengan komunitas lain tanpa harus kehilangan identitas mereka. Mereka harus tetap hidup dalam warisan kultural mereka tapi serentak bersikap terbuka. Sikap terbuka yang sama akan mereka kembangkan ketika mereka bekerja di negara lain. Mereka akan dihadapkan pada komunitas lain yang berbeda dari mereka.
Dunia, kata Amartya Sen, tidak pernah dibagi secara rapi. Karenanya tidak ada kategorisasi tunggal. Biarkan itu jadi kesadaran kita bersama di Flores.
Ende, 15 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar