Oleh Frans Obon
PADA Pemilu 2004 lalu, almarhum Nurcholish Madjid bicara soal visi, misi, dan gizi dalam praktik politik di Indonesia. Dia bilang kala itu, praktik politik Indonesia tidak hanya memerlukan visi dan misi, yang bisa menakar kemampuan dan intelektualitas calon pemimpin, melainkan juga memerlukan gizi. Gizi tidak lain adalah bagaimana uang bekerja dalam politik di Indonesia.
Di dalam praktiknya, sejak Pemilu 1999 dalam ranah publik orang gencar berbicara soal praktik politik uang (money politics). Sampai di daerah-daerah, bahkan di kampung-kampung orang bicara money politics. Apa persis arti dari kata itu bukanlah soal. Yang umum diketahui bahwa uang dipakai untuk membeli suara rakyat.
Kata itu begitu gencar dituduhkan ke Dewan hasil Pemilu 1999 karena praktik-praktik politik yang korup. Kedudukan DPRD dalam UU No. 22/1999 cukup kuat. DPRD-lah yang memilih bupati dan wakil bupati. DPRD diberi kewenangan menjatuhkan bupati dan wakil bupati. Posisi yang kuat itu memang cenderung disalahgunakan. Seperti kata Lord Acton power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut cenderung disalahgunakan secara absolut pula). Kekuasaan, apapun bentuknya sesuai dengan adagium ini, cenderung diselewengkan. Karenanya kekuasaan perlu dikontrol.
Dalam sistem ketatanegaraan modern prinsip trias politica adalah cara menyeimbangkan kekuasaan dari masing-masing lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Tetapi dalam praktiknya tiga institusi ini seringkali berkolusi. Semua itu terjadi karena adanya sikap tunduk di bawah penggunaan anggaran. Akumulasi anggaran yang begitu besar di eksekutif membuat dua lembaga lainnya yakni yudikatif dan legislatif cenderung bergerak menyokong eksekutif.
Di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebelum berlakunya pemilihan langsung, bupati dan wakil bupati dipilih menjelang akhir masa jabatan DPRD. Rentang waktu lima tahun tersebut adalah sebuah kesempatan bagi calon yang incumbent dan DPRD berkolusi. DPRD yang diberi kewenangan untuk memilih “dipelihara sedemikian rupa” sehingga mereka berada dalam suatu kondisi ketergantungan yang luar biasa. Mereka bisa menutup mata terhadap aspirasi masyarakat. Pertemuan-pertemuan politik digelar di Kupang, Surabaya, dan Jakarta ataupun di tempat-tempat yang lebih aman, yang jauh dari awasan masyarakat.
Pertarungan lalu terjadi pada wacana. Praktik politik uang (money politics) bergeser ke political cost. Politik membutuhkan ongkos dan karenanya tidak salah kalau politik memerlukan dan mengeluarkan biaya. Kalau kita mobilisasi massa, bukankah kita membutuhkan dana? Inilah yang disebut political cost, kata mereka. Money politics dan political cost sesungguhnya hanya berbeda dalam modus operandi-nya. Banyak orang berada di sekitar politisi bukan karena kesamaan kepentingan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat umum (bonum commune) melainkan untuk mendapatkan apa dari persekutuan politik tersebut (who gets what).
Karenanya kita tidak perlu heran mengapa tim sukses menjadi kaya mendadak? Calon ketiba sial, yang kenyang adalah tim suksesnya. Dia mendapatkan uang dari biaya politik tersebut, entah dana penggalangan massa atau dana pemenangan. Logikanya tetap sama: tidak ada makan siang yang gratis.
Isu money politics disempitkan pada soal “pembelian suara” yang dipengaruhi oleh uang. Artinya orang menjatuhkan pilihannya karena dia telah menerima uang. Tetapi tidak menyentuh esensi dari penilaian etis atas praktik politik uang. Namun pengertian demikian, yang terbilang sempit ini, tetap saja mencederai nilai-nilai moral. Karena isunya kemudian beralih: terima uangnya, jangan pilih orangnya. Pertanyaan etis di sini adalah bolehkah kita menerima dan menggunakan uang tersebut. Bukankah kita menyalahi prinsip kejujuran? Bolehkah kita menggunakan uang yang bukan hak kita untuk menerimanya? Bolehkah kita menggunakan uang hasil dari akibat ketidakjujuran?
Akan jauh lebih baik dari segi etis kalau kita menolak dengan tegas uang-uang semacam itu daripada kita terima. Kita katakan tidak untuk semua bentuk pemberian uang yang dapat mempengaruhi otonomi kita dalam memilih. Karena dengan ini orang-orang yang berkepentingan dalam politik tidak lagi berani menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih. Dengan demikian penolakan ini akan berubah menjadi bentuk pendidikan politik. Bahwa suara hati kita tidak bisa dibeli. Bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk kita bermain di dalam politik uang.
Visi, misi, dan gizi politik. Ada yang bilang tidak efektif kita berbicara soal visi dan misi dalam kondisi keterbatasan pemahaman dan pengertian masyarakat. Hasil survei juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak mempedulikan dengan kapabilitas calon. Masyarakat toh tidak mengerti terlalu banyak soal visi dan misi. Karena itu politisi lebih bersikap pragmatis saja: bagaimana mendapatkan dukungan massa dengan cara yang paling mudah. Untuk apa bersusah-susah bicara visi dan misi, toh masyarakat tidak terlalu banyak paham. Karena itu politisi lebih memilih mencari cara yang lebih mudah untuk mendapatkan dukungan massa.
Di tingkat lokal, hampir umum di Flores, pendekatan budaya dan keluarga besar jauh lebih efektif menggalang dukungan massa daripada kesamaan kepentingan dan ideologi. Toh juga politisi kita di tingkat lokal tidak lagi memperhatikan ideologi partai, sepak terjang anggota partai di parlemen nasional, dan agenda partai tersebut dalam konteks kebersamaan sebagai bangsa. Di tingkat lokal, orang memandang partai hanya sebagai alat dan sarana untuk mendapatkan kursi DPRD dengan segala kemudahannya. Gaji anggota DPRD yang terbilang besar untuk ukuran daerah menjadi magnet dan “lahan kerja baru” yang coba direbutkan.
Masyarakat pun minta duluan. Daripada makan janji, lebih baik makan uang sekarang. Visi dan misi disisihkan ke samping. Pemilih lebih pentingkan gizi. Gizi bisa berupa uang. Tapi bisa in natura: orang datang toh perlu makan daging. Jangan heran caleg mati kutu ketika tak terpilih. Karena dana politiknya terkuras habis. Jadi, jelang pemilu juga kesempatan memperbaiki gizi.
Ende, 17 April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar