07 Juni 2009

Pangan

Oleh FRANS OBON

Tiga bupati dari Flores diundang oleh Harm Foundation untuk menengok dari dekat pendekatan yang digunakan pemerintah Jerman dalam mengembangkan pertanian dan pedesaan. Bupati Manggarai Christian Rotok, Bupati Ende Don Bosco M Wangge dan Bupati Manggarai Barat Wilfridus Fidelis Pranda akan sejenak berada di Jerman.
Sistem pertanian dan penataan pedesaan barangkali dua hal penting yang bisa dipelajari dalam kunjungan ini. Karena justru dua hal ini amat krusial bagi pengembangan pertanian dan penataan pedesaan kita saat ini.

Dalam soal pertanian, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian pengambil kebijakan di daerah ini. Pertama, optimalisasi lahan pertanian. Orang-orang yang baru saja datang ke Flores, akan mendapatkan kesan pertama bahwa banyak sekali lahan tidur di daerah kita. Lahan tidur tidak lain adalah lahan yang tidak tergarap dengan baik dan dibiarkan begitu saja. Sementara itu para petani kita dalam pengelolaan lahan pertanian amat subsisten sifatnya. Pertanian kita digarap asal jadi. Begitu jauh dari sentuhan teknologi dan keterampilan yang seharusnya dimiliki para petani. Para petani kita tidak terlalu banyak diperkenalkan dengan teknologi pertanian yang bisa mengubah sistem pertanian mereka.


Beberapa waktu lalu, di Manggarai misalnya, lahan pertanian dimanfaatkan untuk tanaman komoditas: jambu mete, kemiri, vanili, kopi, kakao. Perubahan fungsi lahan itu tidak disertai dengan kebijakan melindungi hasil komoditas rakyat. Pengusaha menentukan sepihak harga komoditas pertanian sedangkan rakyat menerimanya tanpa punya daya tawar sedikitpun. Kita mengajarkan kepada rakyat mengenai pertanian berorientasi pasar tapi pemerintah kita gagal melindungi kepentingan mereka. Dengan demikian perdagangan berjalan di atas rel ketidakadilan. Petani yang tidak punya informasi mengenai pasar dikalahkan.

Di sisi lain perubahan orientasi pertanian di masyarakat juga tidak disertai pendampingan yang intens dari pemerintah agar pertanian kita laku di pasar. Swisscontact, yang sejak beberapa tahun lalu, mendampingi para petani mete di Flores Timur dan Sikka memberikan kita sisi baru dalam pendampingan para petani agar komoditas mereka dapat diterima di pasar-pasar negara Eropa dan Amerika. Pasar Eropa dan Amerika membutuhkan jambu mete organik. Swisscontact mendatangkan IMO, sebuah badan yang memberikan akreditasi bahwa sungguh komoditas jambu mete Flores sifatnya organik, sehingga pasar Eropa dan Amerika dapat menerimanya. Yang ingin ditegaskan adalah bagaimana pemerintah mestinya mendampingi para petani kita agar komoditas pertanian mereka sungguh berkualitas dan diterima di pasar-pasar baik dalam negeri maupun luar negeri.

Sebenarnya tuntutan akan pertanian organik bukan saja di luar negeri. Pasar di dalam negeri sekarang sudah menuntut agar pertanian kita tidak lagi menggunakan pupuk dan zat kimia lainnya. Bisakah kita mengelola pertanian kita tanpa menggunakan zat-zat kimia seperti itu? Menghilangkan kebiasaan tersebut, perlu ada intervensi dan pendampingan terhadap para petani kita.

Kedua, lemahnya pengawasan pelaksanaan tata ruang. Hampir tiap daerah di Flores atau NTT punya tata ruang. Tetapi banyak pula pemerintah lokal kita tidak menaati tata ruang yang telah ditetapkan. Seenaknya diubah. Bagaimana bisa pemerintah lokal kita, misalnya memberikan konsesi pertambangan di daerah pariwisata. Di satu sisi kita mengkampanyekan pariwisata, tapi di sisi lain kita membuka kran investasi pertambangan yang merusak ekowisata. Ada kontradiksi di dalam kebijakan pemerintah daerah. Pemerintah membuat rencana tata ruang wilayah dan tata ruang perkotaan, tetapi pada kesempatan yang sama pemerintah melanggarnya. Betapa pemerintah kita ada dalam inskonsistensi kebijakan.

Jika kita mengkampanyekan pariwisata seharusnya pemerintah kita mendorong pengembangan lahan pertanian untuk menunjang kebutuhan pariwisata. Di Mabar, misalnya, sayur dan buah-buahan didatangkan dari luar daerah untuk kebutuhan turisme. Akibatnya kita kaya objek wisata, tapi hal itu tidak membuat masyarakat kita memperoleh keuntungan. Masyarakat kita jadi penonton.

Kepatuhan terhadap tata ruang merupakan salah satu kunci dalam pembangunan. Pengalaman di negara maju, pemerintah sangat ketat dengan pemanfaatan tata ruang wilayah. Dari cerita para misionaris di luar negeri, negara maju seperti Jepang misalnya, pemerintahnya sangat ketat dengan pemanfaatan tata ruang. Lahan-lahan pertanian yang produktif dilindungi dan tidak diutak-atik untuk kepentingan pemodal sehingga produksi pangan tetap terjamin. Saya kira cerita busung lapar di daerah kita atau para petani makan putak mencerminkan kekurangan-konsistenannya pemerintah mengembangkan pertanian kita. Jika makanan tidak terjamin tersedia, bagaimana bisa kita memberdayakan sumber daya manusia. Busung lapar adalah proses pengkerdilan sumber daya manusia kita.

Kita harus akui bahwa soal pengawasan penggunaan tata ruang kita lemah. Sudah ada aturan bahwa suatu wilayah telah dijadikan hutan lindung. Tapi masyarakat kita dengan mudah membabatnya jadi lahan pertanian. Pemerintah lihat saja dan tidak pernah ambil tindakan tegas. Dalam konteks Flores, ketika hutan gundul, orang minta Gereja Katolik harus kampanyekan penyelamatan hutan. Bukankah ini bentuk lempar tanggung jawab. Pemerintah punya instrumen hukum (positif) untuk memberikan tindakan tegas. Ini tugas pemerintah agar rakyatnya taat asas. Tapi karena pemerintah punya kepentingan politis yang kental dan takut dianggap tidak pro rakyat, maka pemerintah menjadi lemah.

Ketiga, konflik tanah pertanian. Yang perlu juga kita pelajari dari sistem pertanian di Eropa adalah sistem kepemilikan lahan pertanian. Banyak sekali jatuh korban jiwa akibat perebutan lahan pertanian. Ini mengisyaratkan bahwa sistem kepemilikan lahan kita tidak memberikan jaminan. Di Manggarai, orang bisa merebut lahan pertanian kampung lain hanya oleh sebuah klaim sejarah masa lalu yang tidak terbukti sama sekali. Pemerintah kita terkesan membiarkan konflik ini berlarut-larut tanpa ada usaha fasilitasi yang intens. Di seluruh Flores, sistem kepemilikan lahan menjadi masalah krusial yang belum tersentuh sampai sekarang. Distribusi tanah kita belum menjamin kepemilikan yang langgeng ke depan.

Hal penting lainnya adalah belajar mengenai penataan pedesaan. Saat ini banyak sekali dana dikucurkan. Tapi sejalan dengan itu, ada banyak cerita-cerita korupsi di pedesaan kita. Jadi, otonomi desa dijadikan kesempatan pemerataan korupsi. Otonomi desa tidak dimaksudkan untuk menata pemerintahan yang bersih dan akuntabel, tetapi desa menjadi kantong korupsi baru.

Memang harus kita akui perbedaan antara Eropa dan daerah kita seperti langit dan bumi. Mereka sudah begitu maju dan stabil. Tetapi apakah kita tidak bisa meniru mereka untuk mengatur masyarakat kita sesuai dengan konteks kita di sini. Saya sering kali jumpai dalam tugas jurnalistik bahwa selalu ada kesulitan dalam menjawab pertanyaan: apa yang dapat kita petik dari setiap kali studi banding? Studi banding seringkali jadi kesempatan rekreatif. Kita kembali dengan semangat yang sama.

Flores Pos | Asal Omong | Pangan
| 23 Mei 2009 |

Read more...