27 April 2009

Sebelum Jago Berkokok

Oleh Frans Obon

Kamis pagi, 9 April 2009, saya memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS) yang letaknnya tidak jauh dari rumah kami. Kami sekeluarga beruntung karena masuk dalam daftar pemilih tetap baik untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT Juni 2008 maupun pemilihan bupati dan wakil bupati Ende, Oktober 2008. Kami ikut antre di luar TPS. Berdiri sebentar dengan beberapa orang di situ, lalu masuk ruang tunggu. Saya urutan ketiga dari terakhir sebelum pemungutan suara ditutup pada pkl. 12.00.

Saya kembali ke rumah sebentar untuk santap siang. Kira-kira 14.30 saya pergi lagi ke TPS untuk mengikuti penghitungan suara. Saya membawa kamera dan mengambil beberapa gambar. Gambar-gambar itu saya publikasikan di Harian Flores Pos pada beberapa edisi.


Saya hanya bertahan hingga selesai penghitungan suara untuk DPRD Ende. Karena pada sore hari nanti, saya dan keluarga akan mengikuti perayaan Kamis Putih. Saya mesti siapkan sedikit tenaga dan pikiran. Saya tidak bisa bayangkan kalau saya ikut dalam pencalonan anggota legislatif – saya pernah jadi calon legislatif pada Pemilu 2004 dari PDI Perjuangan – betapa konsentrasi saya terpecah. Seandainya saya ikut, telah membuang banyak energi dan tenaga, lalu hasilnya tidak maksimal, betapa suasana batin saya tidak karuan. Di televisi, kita lihat ada caleg di Jawa dan di beberapa tempat lainnya mengalami stres bahkan ada yang bunuh diri. Jika suasana batin tak karuan, sebuah omong kosong kalau saya mengatakan, saya tetap berkonsentrasi mengikuti perayaan. Bukan pada hari itu saja, pengaruhnya bisa berminggu-minggu. Alangkah naifnya kalau ada yang mengatakan, tidak ada masalah.

Saya putuskan kembali ke rumah dan tidak lagi ikut penghitungan suara untuk DPRD NTT, DPR RI dan DPD. Karena setelah perayaan misa Kamis Putih nanti, masih ada giliran penyembahan sakramen mahakudus di Paroki. Perayaan ini berlangsung sepanjang malam dan umat berdoa di depan sakramen mahakudus secara bergilir. Doa vigili: berjaga-jaga bersama Yesus sambil berdoa.

Ketika sejak 1980-an terjadi pencemaran hostia di Flores dan orang Flores sadar bahwa ini adalah sebuah provokasi dengan melecehkan inti iman Katolik, muncul refleksi bahwa mungkin karena sikap tidak hormat terhadap sakramen mahakudus itulah yang membuat kasus-kasus pencemaran hostia sering terjadi. Karenanya perlu ada pertobatan. Orang Katolik mesti menyesali dosa dan kelalaiannya dan membarui semangat mereka untuk menghormati sakramen mahakudus itu.

Tepat pukul 01.00 malam itu, saya ke gereja. Saya berlutut di bangku agak ke tengah dari deretan terakhir. Setengah jam saya ikut berdoa bersama, lalu kembali ke rumah. Malam itu adalah malam drama penangkapan Yesus. Pikiran saya tidak tertuju pada Yudas Iskariot, tetapi pada Petrus. Saya ingin merefleksikan tokoh ini. Dialah batu karang di atasnya Gereja Kristus didirikan. Tokoh ini menggambarkan sebuah heroisme di satu sisi dan kerapuhan manusia di sisi lain. Dia mau mempertaruhkan nyawanya untuk Yesus sebelum drama penangkapan, tetapi pada saat penangkapan Yesus dia menyangkalnya sebanyak tiga kali sebelum ayam (jago) berkokok.

Yudas mengkhianati Yesus, lalu menyesal, melemparkan uang hasil pengkhianatannya, dan mati bunuh diri. Sedangkan Petrus, tiga kali dia menyangkal Yesus di depan publik. Dia kecut di depan publik dengan mengingkari keberadaannya sebagai murid Tuhan. Ketakutan untuk mengakui bahwa dia “murid orang itu” di depan publik. Ya, ketakutan. Namun bedanya Petrus menyesal dan bangkit dari keterpurukannya. Dia bertobat. Beralih dari menyangkal Yesus di depan publik menjadi pewarta Kristus yang paling gigih kemudian. Dia bangkit dari keterpurukannya dan meletakkan dasar bagi Gereja Kristus. Tuhan menggenapi janjinya bahwa di atas batu karang inilah Dia mendirikan GerejaNya yang tidak akan goyah sepanjang zaman.

SIKAP kecut dan takut bicara di depan publik untuk menampilkan nilai-nilai dasar kemanusiaan adalah fakta empiris dalam praksis politik di Flores. Banyak orang mencemaskan situasi ini. Orang tidak berani bicara di depan pelanggaran nilai-nilai.

Pada pertemuan di aula Marinus Krol di Paroki Onekore, 27 Maret 2009 lalu, dosen teologi politik Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero dan yang juga Provinsial Serikat Sabda Allah (SVD) Pater Amatus Woi SVD mengatakan, politisi Katolik mesti berani bicara di depan pelanggaran nilai-nilai. Pada pertemuan yang mengambil tema “Pencerahan dan Pendidikan Politik Rasul Awam”, dia menegaskan perlunya politisi Katolik menampilkan jati dirinya dengan berada di garda terdepan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas serta kesejahteraan umum sebagian bagian esensial dari praksis politik yang benar.

Dalam bahasa agama, perlu ada spiritualitas politik yang benar. Spiritualitas adalah semangat dasar, motivasi, cita-cita baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok dalam keterlibatan sosial. Politik adalah medan pengabdian politisi Katolik.

Pengabdian, bukan pekerjaan. Bukan sekadar kesempatan mengais rejeki. Totalitas berkarya amat dituntut dari praksis politik yang bersumber dari spiritualitas semacam ini. Politik sebagai medan pengabdian dan panggilan bagi politisi Katolik mengandung konsekuensi etis dengan membersihkan politik dari kekotoran. Biarkan politik itu berjalan di dalam bingkai moral dan etika.

Karena itu ukurannya bukan terletak pada semangat awam untuk mengikuti perayaan ekaristi atau tugas-tugas liturgis lainnya di Gereja, tetapi medan bakti kaum awam adalah politik. Mengutip kata-kata Nabi Amos (Amos, 5:21-24): “Aku membenci, Aku menghina perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tapi biarkanlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir”. Biarkan keadilan, kebenaran, dan kedamaian mengalir bagaikan air.

Yang banyak dikritik kemudian adalah bagaimana memecahkan budaya bisu (silent culture) politisi-politisi Katolik di Flores di depan pelanggaran nilai-nilai, moralitas, dan etika berpolitik. Politik beretika itu dicirikan oleh orientasinya bagi kepentingan umum, membangun solidaritas dengan masyarakat terpinggirkan, menghindari pembangunan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan yang merendahkan martabat pribadi manusia. Politisi Katolik mesti membangun kepekaan terhadap nasib dan kehidupan rakyatnya.

Masalahnya memang karena politisi kita mau mengeluarkan agama dari praksis politiknya. Agama dibawa ke ranah penghayatan pribadi. Ada pembelokan arah penghayatan agama untuk kesalehan pribadi, bukan kesalehan sosial. Praksis politik kita tidak lagi dijiwai dan dilandasi oleh Kabar Gembira (euangelion). Ada pengingkaran terhadap nilai-nilai Injili. Dalam praksis politik, kita mengingkari bahwa kita “bukan murid orang itu”. Kita masih berada dalam situasi sebelum jago berkokok. Kita belum melampaui fase ini.

Ende, 27 April 2009
Read more...

23 April 2009

Mbay, Nagekeo, dan Mimpi Elite Politik

Babak Baru, Pemimpin Baru

Oleh Frans Obon

Mbay, ibu kota Kabupaten Nagekeo termasuk salah satu daerah strategis di pulau Flores. Daerah ini yang terletak di bagian utara Flores, amat memungkinkan terbukanya akses yang lebih besar ke Surabaya, Makassar dan kawasan timur lainnya di Indonesia. Wilayah utara sepanjang Flores memang strategis, terbentang dari Labuan Bajo ibu kota Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat Flores hingga Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka.

Pemerintahan fasis militer Jepang pada masa Perang Dunia II pernah membangun sebuah lapangan terbang di Mbay dengan nama Lapangan Terbang (Lapter) Surabaya II. Tentu saja lapangan ini dibangun demi kepentingan militer Jepang untuk memudahkan kontrol terhadap wilayah timur Indonesia dalam konteks perang pasifik. Para pastor Katolik dari Belanda, Jerman, dan Eropa Timur lainnya yang bekerja di Flores dibuang ke Makasar pada masa pendudukan Jepang.


Sarana transportasi laut juga memungkinkan Mbay menjadi salah satu pusat perdagangan di masa depan. Labuan Bajo, di Manggarai Barat, Reo di Kabupaten Manggarai, Marapokot di Mbay Kabupaten Nagekeo dan Sadang Bui Maumere adalah titik-titik singgah yang aman bagi kapal-kapal berukuran besar di pantai utara Flores.

Dengan potensi ini ke depan Mbay akan meninggalkan induk semangnya Kabupaten Ngada dalam mobilitas penduduk dan peningkatan sumber pendapatan bagi pemerintah daerah. Ngada memiliki Aimere sebagai pelabuhan menuju Kupang. Wae Wole di Kabupaten Manggarai Timur akan menjadi pelabuhan tetangga terdekat. Tetapi letaknya di bagian selatan Flores membuat pelabuhan itu tidak akan semaksimal seperti Marapokot di utara. Sebab bagaimanapun Surabaya tetap menjadi pintu masuk strategis ke pulau Jawa. Apalagi Surabaya masih menjadi salah satu pusat industri dan perdagangan di ujung timur pulau Jawa. Sebagai daerah industri, Surabaya akan tetap membutuhkan bahan baku dari wilayah timur Indonesia. Jumlah penduduk yang makin bertambah dan gerak pembangunan yang mulai menggeliat di bagian timur Indonesia akan menjadi pasar potensial di masa depan.

Demikian pula dalam relasinya dengan Makassar, Sulawesi Selatan, menuju wilayah timur lainnya di Indonesia Mbay tetap diuntungkan. Sekarang mungkin belum terasa karena Jawa masih menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan industri di Indonesia, dan konsentrasi penduduk terbesar, yang dari segi pasar menjadi konsumen potensial. Kejenuhan dan menipisnya sumber daya alam di Pulau Jawa memungkinkan berpindahnya pusat industri ke luar Jawa.

Nostalgia
Mbay menyimpan begitu banyak nostalgia di dalam pembangunan di Ngada dan Nusa Tenggara Timur. Dataran Mbay yang luas dan subur pernah masuk dalam kamus jargon pembangunan Orde Baru sebagai lumbung beras. Dana miliaran rupiah telah dikucurkan untuk membangun dan menata dataran Mbay dan sekitarnya, tetapi Mbay masih tetap seperti yang kita saksikan sekarang.

Yang masih segar dalam ingatan kita adalah ditetapkannya Mbay sebagai pusat pertumbuhan di Flores-Lembata dengan dibentuknya Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (Kapet) Mbay).

Pada tahun 1990-an, Soeharto meluncurkan program pengembangan kawasan timur Indonesia (go east policy). Sebagai bagian dari program go east policy itu, April 1996 Soeharto meresmikan 13 Kapet, 12 di antaranya terdapat di wilayah Indonesia bagian timur. Mbay termasuk salah satunya. Meski namanya Kapet Mbay, namun cakupan kawasannya kemudian meliputi seluruh pulau Flores.

Rakyat Nagekeo, yang di kala itu masih satu dengan Kabupaten Ngada, menyambut gembira. Di Mbay, suku Lape menyerahkan tanah dalam sebuah upacara kepada Bupati Ngada Yohanes Samping Aoh (1994-1999). Lambert Ruto mewakili sukunya mengucapkan bhea sa. Rakyat dalam kasus ini lagi-lagi diminta berkorban untuk apa yang menjadi legitimasi kekuasaan Orde Baru: pembangunan. Kita semua tahu bahwa Orde Baru memang membangun legitimasi kekuasaannya dengan pembangunan. Apa dan berapapun harga yang harus dibayar, Orde Baru akan melakukannya. Atas nama pembangunan, orang-orang yang tidak berdaya, orang miskin, orang papa, dan yang terpinggirkan, bisa saja dikorbankan. Namun krisis ekonomi 1998 sekali lagi menunjukkan bahwa legitimasi kekuasaan Orde Baru runtuh. Kekuasaannya pun tidak bisa dipertahankan lagi.

Dengan demikian hingga turun dari kursi kepresidenan Mei 1998, program Kapet termasuk Kapet Mbay hanyalah retorika politik pembangunan Soeharto. Pencarian legitimasi kekuasaan di atas kesuksesan ekonomi Orde Baru ternyata gagal dengan munculnya krisis keuangan, lalu krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Krisis itu telah pula melahirkan krisis Mei 1998 di Jakarta hingga pertikaian etnik di Indonesia: Maluku, Poso, dan Sambas.

Saya pernah menulis mengenai Kapet Mbay dengan judul Go East Policy, What Went Wrong? Apa yang salah dengan Kapet? Menurut Menteri Percepatan Pembangunan Indonesia Timur di era Presiden Megawati, Manuel Kaisiepo pada pertemuan di Kupang, beberapa Kapet sukses mendatangkan investor, tetapi beberapa Kapet gagal, termasuk yang gagal adalah Kapet Mbay. Menurut Kaisiepo, Kapet yang terbilang sukses adalah Bitung-Manado, Pare-pare, Kathulistiwa (Kalimantan Barat), Sesama (Kalimantan Timur), Batu Licin (Kalimantan Selatan), Biak (Papua).

Bagaimana dengan Mbay? Kapet Mbay gagal karena dua alasan. Pertama, fasilitas dan infrastruktur yang minim seperti telepon, internet, dan transportasi yang buruk, sehingga menyulitkan investor menanamkan duitnya di Mbay. Kedua, minimnya profesionalisme dan semangat wirausaha. Dalam kasus Mbay misalnya, ditunjuknya gubernur sebagai pejabat ex officio dan para pensiunan pegawai negeri sipil sebagai direktur eksekutif membawa persoalan sendiri. Kaisiepo benar ketika mengatakan dua alasan ini menjadi sebab Kapet gagal. Megawati pernah mengatakan bahwa birokrasi Indonesia seperti keranjang sampah.

Media pernah melaporkan bahwa diperkirakan miliaran dana telah dihabiskan oleh badan eksekutif untuk mempromosikan Kapet ini ke berbagai ajang dan kesempatan. Beberapa seminar digelar untuk membahas langkah konkret implementasi Kapet. Seminar di Darwin, pertemuan Manado, promosi di Jepang dan Eropa. Tapi hasilnya tidak ada investasi.

Bisa saja orang menyalahkan perubahan rejim kekuasaan di Indonesia, transisi politik dan krisis ekonomi 1997 sebagai alasan dasar Kapet gagal. Namun sebetulnya sejak awal 12 Kapet di Indonesia bagian timur lebih sebagai retorika politik Soeharto. Tidak ada kemajuan yang riil dalam implementasinya.

Pada tingkat lokal, Kapet ini gagal juga karena isu primordialisme. Kekurangan fasilitas untuk menunjang Kapet pernah disiasati dengan keputusan memindahkan ibu kota Kabupaten Ngada ke Mbay sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis, namun gagal.

Kedua, hilangnya kepercayaan masyarakat lokal. Pemerintah akhirnya mesti berjuang mengembalikan kepercayaan masyarakat lokal. Saya kira hal ini menjadi sangat krusial. Untuk menyukseskan Kapet, masyarakat dimobilisasi untuk menyerahkan tanah ke pemerintah baik untuk membangun kantor bupati maupun kantor kapet.

Apa yang terjadi setelah lima tahun? Masyarakat kecewa. Masyarakat sudah menyerahkan tanah yang tidak mungkin dapat diambil kembali kepada pemerintah dengan menjanjikan pembangunan yang lebih sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat. Tetapi pengorbanan itu seakan disia-siakan.

Oke, lihatlah ke Depan
Kesimpulan sederhana dari tulisan saya adalah florinese people need a new chapter of Kapet Mbay (Orang Flores memerlukan babak baru dari Kapet Mbay). Artikel ini saya tulis tahun 2004 sebelum Nagekeo terbentuk sebagai kabupaten. Pembentukan Nagekeo sebagai kabupaten baru melalui Undang-Undang No. 02/2007 yang ditopang tujuh kecamatan yakni Kecamatan Aesesa, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Keo Tengah, dan Aesesa Selatan, kembali memperkuat keyakinan saya bahwa Kabupaten Nagekeo adalah babak baru untuk menjawabi harapan dan keinginan rakyat untuk menata daerah itu secara baru.

Kapet Mbay sebagai sebuah gagasan membangun ekonomi dalam konteks kawasan terpadu jauh lebih kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan Nagekeo sebagai sebuah kabupaten. Dari segi otoritas, keputusan ada di Nagekeo, bukan lagi di Kupang dan Jakarta. Anggaran jauh lebih terjamin. Rentang kendali sudah diperpendek.


Apa yang diperlukan sekarang adalah, saya kembali lagi pada keyakinan pribadi saya, bahwa pembentukan Kabupaten Nagekeo harus dapat pula mengubah cara pandang rakyat Nagekeo untuk membangun daerah itu. Rakyat Nagekeo harus melihatnya secara baru dan dalam cara pandang baru. Cara pandang baru dicirikan oleh cara pandang yang lebih segar (fresh look). Kata kunci dari ini semua adalah kita membutuhkan perubahan dan pemimpin yang mampu membawa perubahan. Kita memerlukan tokoh baru, orang muda, energik, dan cerdas untuk meletakkan dasar Kabupaten Nagekeo.

Oke, mari kita lihat ke depan dengan ambil contoh di tempat lain. Kecenderungan besar seleksi pemimpin di dunia sekarang adalah memilih tokoh-tokoh muda yang cerdas, yang teguh pendiriannya, punya ide membangun, dan integritasnya tinggi.


Ratu Inggris mencabut penghargaan yang pernah diberikan kepada Robert Mugabe dari Zimbawe karena kehendaknya untuk terus berkuasa di negaranya. Mugabe tidak memberikan kesempatan bagi munculnya tokoh-tokoh baru di panggung politik di negaranya. Dia ingin mengekalkan kekuasaannya selama tiga dasawarsa dan akan terus mempertahankannya ke depan. Tokoh seperti ini dan masih banyak tokoh lainnya di dunia tidak ingin mati sebagai rakyat biasa, melainkan sebagai orang yang tetap berkuasa.

Di Amerika Serikat, perang Vietnam telah memberi dampak politik bagi pencalonan presiden Amerika Serikat. Calon presiden Amerika Serikat, yang di belakang kepalanya mau jadi polisi dunia, menggunakan isu keterlibatan para calon dalam perang Vietnam untuk meraih suara. John Kerry dari Demokrat menggunakan isu tersebut, tapi kalah. Sekarang John McCain dari Republik menggunakan isu perang Vietnam untuk meraih dukungan. McCain adalah bekas pilot Amerika yan pernah ditawan dalam perang Vietnam. Barack Obama dari Demokrat mengusung perubahan sebagai tema kampanye (Change, We Can Believe In). Obama, senator kulit hitam dari Illinois menggaet pemilih dengan isu perubahan. Ini berarti rakyat Amerika mendambakan darah segar baru dalam politik Amerika.

Perang di Irak, peran Amerika di Timur Tengah, telah mempengaruhi cara pandang rakyat Amerika. Pemilih muda di Amerika melihat bahwa mereka membutuhkan babak baru di dalam politik Amerika. Sebuah babak kehidupan tatanan global yang lebih damai, bukan perang. Orang Amerika mengimpikan visi baru yang lebih cerdas dan lebih segar dalam menata Amerika. Orang-orang Amerika memimpikan pemimpin-pemimpin muda yang lebih energik dan lebih cerdas seperti John F. Kennedy dan Robert B Kennedy.

Karenanya ketika Obama tampil dalam reli kampanye untuk merebut tiket dari Demokrat, orang mengingat kembali pada figur dan tokoh John F Kennedy yang muda, cerdas, dan energik. Kennedy memang menjadi pemimpin dalam usia muda dan sukses serta tetap dikenang rakyat Amerika sampai sekarang sebagai sumber inspirasi dalam politik rakyat Amerika.

Saya pun melihat rakyat Nagekeo merindukan figur muda yang energik dan cerdas, teguh pendiriannya, dan integritasnya terjamin. Rakyat Nagekeo mesti mampu melihat ke depan dengan cara baru dan cara pandang yang lebih segar. Babak baru, pemimpin baru (new chapter, new leader). Sayapun percaya rakyat Nagekeo terutama generasi-generasi mudanya akan lebih cerdas memilih pemimpinnya.

Flores Pos | Opini | Mbay
| Juli 2008 |
Read more...

17 April 2009

Sepotong Daun Palma

Oleh Frans Obon

SEORANG anak lelaki duduk di pintu gerbang masuk Paroki Onekore, Keuskupan Agung Ende, Flores. Dia menjajakan daun palma. Setangkai dibagi tiga. Sepotong seribu rupiah. Istri saya Caroline membeli dua: satu untuk dirinya, satu lagi untuk saya. Dua ribu rupiah.

Sebenarnya Sabtu sore, saya mau membeli daun palma di Pasar Potulando – yang di Ende dikenal dengan nama Pasar Senggol karena tempatnya sempit sehingga pengunjung berdesak-desakan. Konon kalau tersenggol di sini bisa dimaafkan karena memang tempatnya sempit. Pasar ini penuh dengan pedagang tradisional: ibu-ibu penjual sayur, beras, ikan. Pendeknya sembako.
Di samping sisi kiri dan kanan pasar penuh dengan pedagang sepatu dan pakaian.


Niat itu batal. Istri saya bilang nanti beli saja di depan paroki. Biasanya tiap tahun ada yang jual. Awalnya saya cemas, jangan-jangan tidak ada yang jual daun palma di depan paroki. Ini akan jadi repot.

Saya perhatikan daun palma itu. Satu dibagi tiga. Dalam hati saya pikir, andaikata Yesus datang mengendarai keledai memasuki Kota Ende, saya angkat daun palma yang sepotong begini. Sambutan macam apa itu. Menyambut Tuhan dengan sepotong daun palma?


MANUSIA modern bilangnya makhluk cogito ergo sum (saya pikir maka saya ada). Ini semboyan Rene Descartes, filsuf Prancis. Slogan ini menandakan awal dimulainya era modern, yang segala-galanya diukur dengan akal. Kita butuhkan pencerahan akal, tentu saja. Masa kita tidak berpikir dulu baru bicara. Manusia perlu merefleksikan hidupnya agar hidup terus disempurnakan dan mencapai kepenuhannya. Setuju bahwa hidup memang mesti direfleksikan agar menemukan kepenuhannya. Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dihidupi, kata orang bijak.

Sepotong daun palma? Ini kan sekadar simbol saja. Mengapa mesti susah-susah? Bukankah peristiwa ini sebuah kenangan mengenai peristiwa penyambutan Yesus ketika memasuki Kota Yerusalem? Yesus sempat sedih tatkala melihat kota Yerusalem. “Yerusalem- Yerusalem, kelak tidak ada satu batu di atas batu yang lain”. Yerusalem memang dihancurkan oleh Jenderal Titus tahun 70 SM.

Yerusalem, pusat agama Yahudi, kota suci Tuhan yang agung dihancurkan. Runtuh. Berantakan. Teknologi buatan tangan manusia ternyata tidak bertahan. Mudah dihancurkan oleh nafsu kuasa manusia. Teknologi ciptaan manusia bukan lagi melayani kebutuhan manusia untuk mencapai kepenuhan kemanusiaannya, tapi berbalik menguasai manusia. Lihatlah bagaimana handphone mengusik kekhyusukan doa. Orang pergi sembayang di gereja, di komunitas basis masih bawa HP. Ngak ngik ngok mengganggu orang lain. Tapi yang punya merasa biasa. Terkejut sebentar lalu, diam mengulani terus menerus di lain kesempatan.

Manusia modern memang hidup dalam budaya instan. Mau cari enak dan gampang sendiri. Merelatifisir semua hal. Paus Benediktus XVI bilang, musuh besar manusia modern adalah relativisme.

Saya lalu berpikir: jangan-jangan saya terperangkap dengan musuh besar relativisme ini. Daun palma sepotong menyambut Tuhan? Jauh di dalam hati kecil saya, peristiwa Palma sungguh memberikan makna penting dalam penghayatan iman saya yang tidak sebesar biji sesawi. Dunia ekonomi modern telah mendikte saya. Anak tersebut telah memotongnya jadi tiga. Dia ikut prinsip ekonomi dagang: memecahkan satu produk dalam satuan kecil yang mudah terjangkau pembeli.

Pater Didakus Diwa SVD bicara mengenai pengorbanan diri bagi kebaikan umum dalam kotbah misa Minggu Palem itu. Dia bercerita tentang cerita rakyat Taiwan dan kepercayaan tradisional suku yang gemar mengorbankan darah manusia saat musim tanam tiba. Pengorbanan gubernur yang menghentikan kebiasaan buruk suku itu adalah peristiwa terakhir, yang melahirkan kesadaran baru di kalangan suku agar tidak mengorbankan lagi darah manusia. Pengorbanan gubernur memutuskan semua tradisi lama dan dimulainya tradisi baru. Pengorbanan Kristus satu kali dan tak akan pernah terulang lagi mengakhiri manusia lama kita dan kebangkitannya pun mengenakan pada kita manusia baru. Pengorbanan Kristus, kata imam dari Serikat Sabda Allah ini, mesti mengakhiri kebiasaan buruk kita juga.

Sepotong daun palma. Dia menceritakan mentalitas manusia modern. Sebentar berdiri di sini, sebentar berdiri di sana. Rakyat mengeluk-elukkan Yesus saat masuk Kota Yerusalem. Beberapa hari kemudian meneriakkan: salibkan Dia. Salibkan Dia. Perubahan sikap yang begitu cepat menggambarkan dengan utuh mentalitas manusia modern. Di mana gula, di situ semut. Pagi lain, siang lain, sore lain, dan malam sudah lain lagi. Relativisme telah merasuk dan merusak hidup manusia modern.

Umat yang hadir tampaknya tidak mengetahui bahwa pada akhir perayaan Minggu Palma, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota menerbitkan satu surat tentang sikap keuskupan mengenai pemilu pada Kamis Putih. Uskup bilang, telah banyak usaha untuk menggeser Hari Pemilu setelah perayaan Paska. Tapi semua usaha itu berakhir tanpa hasil. Uskup bilang, umat perlu menerimanya dan tidak menjadikan hal itu alasan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu nasional. “Jangan serahkan kepada orang lain untuk menentukan nasib kita. Kita perlu memberikan suara”. Uskup tidak ingin umatnya ambil sikap apatis, masa bodoh, dan tidak menggunakan hak pilihnya. Umat diajak memilih dan ikut menentukan orang yang akan menentukan kebijakan umum.
“Jangan serahkan kepada orang lain untuk menentukan nasib kita”. Saya ingat kata-kata itu. Keuskupan, selain surat Gembala Prapaska, telah menggelar pertemuan agar umat memilih dengan cerdas, memilih calon yang berkompeten, berkarakter, dan punya komitmen. Tapi pemilih memilih menurut perhitungannya sendiri, menurut kepentingan sendiri. Relativisme telah merasuk. Orang tidak lagi berpikir tentang kebaikan umum. Semua begerak menurut prinsip pragmatis: tidak ada makan siang yang gratis kawan!

Ende, 17 April 2009

Read more...

Visi, Misi, dan Gizi Politik

Oleh Frans Obon

PADA Pemilu 2004 lalu, almarhum Nurcholish Madjid bicara soal visi, misi, dan gizi dalam praktik politik di Indonesia. Dia bilang kala itu, praktik politik Indonesia tidak hanya memerlukan visi dan misi, yang bisa menakar kemampuan dan intelektualitas calon pemimpin, melainkan juga memerlukan gizi. Gizi tidak lain adalah bagaimana uang bekerja dalam politik di Indonesia.

Di dalam praktiknya, sejak Pemilu 1999 dalam ranah publik orang gencar berbicara soal praktik politik uang (money politics). Sampai di daerah-daerah, bahkan di kampung-kampung orang bicara money politics. Apa persis arti dari kata itu bukanlah soal. Yang umum diketahui bahwa uang dipakai untuk membeli suara rakyat.


Kata itu begitu gencar dituduhkan ke Dewan hasil Pemilu 1999 karena praktik-praktik politik yang korup. Kedudukan DPRD dalam UU No. 22/1999 cukup kuat. DPRD-lah yang memilih bupati dan wakil bupati. DPRD diberi kewenangan menjatuhkan bupati dan wakil bupati. Posisi yang kuat itu memang cenderung disalahgunakan. Seperti kata Lord Acton power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut cenderung disalahgunakan secara absolut pula). Kekuasaan, apapun bentuknya sesuai dengan adagium ini, cenderung diselewengkan. Karenanya kekuasaan perlu dikontrol.

Dalam sistem ketatanegaraan modern prinsip trias politica adalah cara menyeimbangkan kekuasaan dari masing-masing lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Tetapi dalam praktiknya tiga institusi ini seringkali berkolusi. Semua itu terjadi karena adanya sikap tunduk di bawah penggunaan anggaran. Akumulasi anggaran yang begitu besar di eksekutif membuat dua lembaga lainnya yakni yudikatif dan legislatif cenderung bergerak menyokong eksekutif.

Di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebelum berlakunya pemilihan langsung, bupati dan wakil bupati dipilih menjelang akhir masa jabatan DPRD. Rentang waktu lima tahun tersebut adalah sebuah kesempatan bagi calon yang incumbent dan DPRD berkolusi. DPRD yang diberi kewenangan untuk memilih “dipelihara sedemikian rupa” sehingga mereka berada dalam suatu kondisi ketergantungan yang luar biasa. Mereka bisa menutup mata terhadap aspirasi masyarakat. Pertemuan-pertemuan politik digelar di Kupang, Surabaya, dan Jakarta ataupun di tempat-tempat yang lebih aman, yang jauh dari awasan masyarakat.

Pertarungan lalu terjadi pada wacana. Praktik politik uang (money politics) bergeser ke political cost. Politik membutuhkan ongkos dan karenanya tidak salah kalau politik memerlukan dan mengeluarkan biaya. Kalau kita mobilisasi massa, bukankah kita membutuhkan dana? Inilah yang disebut political cost, kata mereka. Money politics dan political cost sesungguhnya hanya berbeda dalam modus operandi-nya. Banyak orang berada di sekitar politisi bukan karena kesamaan kepentingan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat umum (bonum commune) melainkan untuk mendapatkan apa dari persekutuan politik tersebut (who gets what).

Karenanya kita tidak perlu heran mengapa tim sukses menjadi kaya mendadak? Calon ketiba sial, yang kenyang adalah tim suksesnya. Dia mendapatkan uang dari biaya politik tersebut, entah dana penggalangan massa atau dana pemenangan. Logikanya tetap sama: tidak ada makan siang yang gratis.

Isu money politics disempitkan pada soal “pembelian suara” yang dipengaruhi oleh uang. Artinya orang menjatuhkan pilihannya karena dia telah menerima uang. Tetapi tidak menyentuh esensi dari penilaian etis atas praktik politik uang. Namun pengertian demikian, yang terbilang sempit ini, tetap saja mencederai nilai-nilai moral. Karena isunya kemudian beralih: terima uangnya, jangan pilih orangnya. Pertanyaan etis di sini adalah bolehkah kita menerima dan menggunakan uang tersebut. Bukankah kita menyalahi prinsip kejujuran? Bolehkah kita menggunakan uang yang bukan hak kita untuk menerimanya? Bolehkah kita menggunakan uang hasil dari akibat ketidakjujuran?

Akan jauh lebih baik dari segi etis kalau kita menolak dengan tegas uang-uang semacam itu daripada kita terima. Kita katakan tidak untuk semua bentuk pemberian uang yang dapat mempengaruhi otonomi kita dalam memilih. Karena dengan ini orang-orang yang berkepentingan dalam politik tidak lagi berani menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih. Dengan demikian penolakan ini akan berubah menjadi bentuk pendidikan politik. Bahwa suara hati kita tidak bisa dibeli. Bahwa kemiskinan bukanlah alasan untuk kita bermain di dalam politik uang.

Visi, misi, dan gizi politik. Ada yang bilang tidak efektif kita berbicara soal visi dan misi dalam kondisi keterbatasan pemahaman dan pengertian masyarakat. Hasil survei juga menunjukkan bahwa masyarakat tidak mempedulikan dengan kapabilitas calon. Masyarakat toh tidak mengerti terlalu banyak soal visi dan misi. Karena itu politisi lebih bersikap pragmatis saja: bagaimana mendapatkan dukungan massa dengan cara yang paling mudah. Untuk apa bersusah-susah bicara visi dan misi, toh masyarakat tidak terlalu banyak paham. Karena itu politisi lebih memilih mencari cara yang lebih mudah untuk mendapatkan dukungan massa.

Di tingkat lokal, hampir umum di Flores, pendekatan budaya dan keluarga besar jauh lebih efektif menggalang dukungan massa daripada kesamaan kepentingan dan ideologi. Toh juga politisi kita di tingkat lokal tidak lagi memperhatikan ideologi partai, sepak terjang anggota partai di parlemen nasional, dan agenda partai tersebut dalam konteks kebersamaan sebagai bangsa. Di tingkat lokal, orang memandang partai hanya sebagai alat dan sarana untuk mendapatkan kursi DPRD dengan segala kemudahannya. Gaji anggota DPRD yang terbilang besar untuk ukuran daerah menjadi magnet dan “lahan kerja baru” yang coba direbutkan.

Masyarakat pun minta duluan. Daripada makan janji, lebih baik makan uang sekarang. Visi dan misi disisihkan ke samping. Pemilih lebih pentingkan gizi. Gizi bisa berupa uang. Tapi bisa in natura: orang datang toh perlu makan daging. Jangan heran caleg mati kutu ketika tak terpilih. Karena dana politiknya terkuras habis. Jadi, jelang pemilu juga kesempatan memperbaiki gizi.

Ende, 17 April 2009
Read more...