25 Maret 2009

Jangan Salah Pilih

Oleh Frans Obon

JANGAN SALAH PILIH! Begitu judul Surat Gembala Uskup Agung Ende, Mgr Vincentius Sensi Potokota pada masa puasa tahun 2009 ini. Surat gembala ini diterbitkan di Ndona pada awal Maret. Surat gembala ini ditutup dengan kalimat ini: Ingat! Jangan Salah Pilih!

Umumnya seorang uskup menerbitkan surat gembala untuk memaknai, memberi pedoman, menjadi bahan refleksi bagi umat Katolik dalam menyikapi sesuatu. Temanya bermacam-macam, amat tergantung pada situasi setempat. Tiap keuskupan punya fokus masing-masing dan secara otonom menentukan sikap dalam hal menanggapi suatu masalah tertentu.


Surat gembala disiarkan dan dibacakan di paroki-paroki serta dipublikasikan pada media massa. Tujuannya agar umat Katolik dan orang yang berkehendak baik atau orang-orang yang punya keprihatinan yang sama (publik) tahu bagaimana sikap hirarki Gereja Katolik terhadap suatu masalah yang tengah dihadapi oleh umat. Tidak ada unsur paksaan di sana, melainkan lebih-lebih sebagai ajakan, sebagai bahan renungan bersama, sebagai penunjuk jalan dalam bersikap.

Tahun ini, yang disebut oleh banyak kalangan tahun politik, Uskup Agung Ende membicarakan soal penggunaan hak pilih masyarakat. Baik dalam memilih anggota legislatif mulai dari anggota parlemen daerah hingga anggota parlemen nasional maupun dalam memilih presiden dan wakil presiden.

Uskup tidak menyebutkan orang-orang tertentu atau menyebut partai tertentu. Tidak ada arahan untuk memilih orang atau partai tertentu. Tiap orang boleh memilih kendaraan politiknya. Ada kebebasan bagi tiap orang untuk memilih kendaraan politik. Malah Gereja mendorong orang-orang Katolik untuk terlibat penuh dalam aktivitas politik dalam kehidupan masyarakat dan kehidupan bernegara, serta berusaha memperjuangkan kepentingan umum (bonum commune). Politik diabdikan seutuhnya bagi kesejahteraan masyarakat. Gereja mengkritik keras praktik politik yang hanya mementingkan golongan dan kelompok tertentu. Ini berkaitan erat dengan hakikat politik yang sejatinya bertujuan menyempurnakan terus menerus kondisi kehidupan manusia.

Bagi Gereja Katolik sendiri, demokrasi adalah suatu sistem yang perlu diuji terus menerus dan perlu diperbaiki pelaksanaannya demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Demokrasi dalam pandangan Gereja Katolik memberikan kemungkinan bagi warga negara berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik negara. Rakyat diberi kesempatan untuk memilih para pemimpin dan sekaligus meminta pertanggungjawaban dari mereka. Dengan demikian Pemilu sebagai media memilih pemimpin mesti pula dimaknai secara bertanggung jawab.

Dokumen Centisimus Annus dari Paus Yohanes Paulus II, artikel 46 menyebutkan: “Gereja menghargai sistem demokrasi karena membuka wewenang yang lebih luas bagi warga negara untuk berperan serta dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang bagi rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka dan – bila itu memang sudah selayaknya – menggantikan mereka melalui cara-cara damai”.

Karenanya keterlibatan orang-orang Katolik di dalam politik kesejahteraan bersama itu dilihat sebagai “panggilan” yang berat namun mulia. Gereja berpendapat bahwa orang-orang yang terlibat di dalam aktivitias politik sebagai medan karya adalah “orang-orang yang memiliki integritas moral dan kebijaksanaan”. Mereka harus berani menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap kelompok lain. Panggilan berpolitik itu harus diresapi oleh iman agar motivasi berpolitik selalu kembali kepada asalinya yakni memperjuangkan kepentingan dan kebaikan umum.

Dalam kerangka politik sebagai panggilan itu, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota menilai bahwa pemilihan umum “menjadi kesempatan untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran, kejujuran, dan kebajikan-kebajikan kristiani, sambil menghindarkan diri dari sikap egoisme, kelompokisme, dan pragmatisme sempit”.

Uskup Sensi mulai refleksinya dengan seruan pertobatan. Nilai kejujuran, kebenaran, dan menghindarkan diri dari egosime kelompok dan pragmatisme sempit dilihat sebagai “buah rahmat retret agung prapaskah”.

“Koyaklah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu” kata Nabi Yoel (Yoel 2:13a). Pembaruan diri itu terpusat pada pembaruan hati. Pembalikan arah (metanoia) itu tak saja secara lahiriah, tapi perubahan hati sebagai inti diri. Karena “segala yang jahat” bersumber di dalam hati (Matius 15:18). Pertobatan hati ini sama dengan memberi ruang bagi fungsi hati nurani yang murni. “Proses pemurnian batin inilah yang kiranya menjadi sumber ilham bagi kita dalam menentukan pilihan pada saat pemilu,” kata Uskup.

Uskup minta umat Katolik menghargai perbedaan dan pilihan politik serta “mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok”.

Tapi Uskup khawatir dengan sikap memilih yang tidak bijaksana dan tidak cerdas sehingga tidak mampu memilih pemimpin atau wakil rakyat yang berkualitas. Padahal orang-orang yang kita pilih ini yang akan menentukan kebijakan publik. Kebingungan dalam memilih partai dan calon yang begini banyak diperburuk dengan sistem rekrutmen di partai politik yang mengabaikan kompetensi.

Ada dua sikap yang menghambat demokrasi yakni sikap eksklusif (tertutup) dan pragmatis. Pertama, sikap eksklusif yang mementingkan “orang saya” dan mengabaikan calon yang berkualitas. Kita akhirnya jadi pemilih yang irasional, emosional, dan primordial. Kedua, prinsip pragmatis yang mengutamakan kepentingan ekonomis. Uskup bilang, keuntungan ekonomis yang dinikmati para anggota legislatif selama ini telah mendorong lebih banyak orang untuk mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Di sisi lain kondisi yang sama menciptakan prinsip pragmatis di kalangan pemilih. Ada segelintir orang dengan gampang menjual suara dengan pelbagai bentuk imbalan atau janji. “Orang cenderung pragmatis: daripada mendapat janji yang belum pasti, lebih baik menerima dulu sebelum memilih”.

Pilihan rasional, kata Uskup, adalah sebuah tuntutan moral dan tuntutan situasi saat ini. Situasi krisis telah menuntut kita untuk memilih pemimpin berkualitas dan memiliki integritas diri. Uskup menyebutkan tiga kriteria calon: kompeten yakni kemampuan intelektual untuk membaca kebutuhan masyarakat dan menentukan kebijakan publik; karakter yakni sikap moral pribadi yang terpuji, yang dapat diketahui dari rekam jejak (track record) calon; komitmen yakni konsisten berpegang pada prinsip kebenaran dan keberanian untuk memperjuangkan kepentingan banyak orang di atas kepentingan pribadi dan golongan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Uskup menyebutkan bahwa Gereja Katolik juga punya tanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik dan terpanggil untuk menjamin ketertiban politik. Baru pada pemilu kali ini, keuskupan mengajak para pastor dan dewan pastoral paroki dan organisasi-organisasi Katolik dan semua organisasi masyarakat yang peduli dengan pendidikan politik untuk menyediakan ajang bagi para kandidat tampil dan berbicara di depan publik. Dari ajang itu pemilih bisa kenal dan tahu kemampuan, karakter dan komitmen para calon dalam memperjuangkan kepentingan umum.

Ajakan itu membuahkan beberapa pertemuan yang digelar di paroki-paroki atau forum-forum tingkat kampung. Sebagian diselenggarakan di kota-kota. Awal Maret Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia menggelar talk show radio menghadirkan 8 calon dari delapan partai politik. Komisi Kerasulan Awam Katolik Kevikepan Ende menggelar pertemuan para calon anggota legislatif di aula Paroki Mautapaga. Masih banyak forum diskusi lainnya di paroki dan kampung-kampung. Inilah medium yang dapat membantu pemilih menentukan pilihannya.

Antusiasme warga untuk mengikuti pertemuan ini cukup tinggi. Dari beberapa teman pastor saya dapatkan informasi bahwa usai diskusi, warga langsung punya gambaran mengenai calon yang akan mereka pilih. Bahkan ada yang mengatakan, “Kami akan memilih Anda”.

Apakah kemudian banyak warga yang akan memilih berdasarkan kemampuan (kapabilitas) calon atau masih terikat pada hubungan emosional suku, etnis dan agama, tentu masih merupakan masalah krusial dalam pemilu Indonesia. Ini batu besar masalah yang membutuhkan banyak orang untuk menggulingkannya.
Read more...

24 Maret 2009

Alumni STFK Ledalero

Oleh Frans Obon

MINGGU, 22 Maret 2009, beberapa orang alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero berkumpul di gedung milik Suster Ursulin di Jln Wirajaya Ende. Ada Piet Puli, Alo Belawa Kelen, Frans Obon, Benyamin Ndaeng, Alex Reba, Yoseph Jarawaru, Alex Radja Seko, Gildus, Ambros Sewe dan Abdon Boli Wuwur. Yang lainnya belum sempat hadir karena kesibukan. Jumlah alumni STFK Ledalero di Ende sekitar 33 orang. Mungkin saja lebih dari itu. Belum terdaftar semua. Ini baru deretan para awam. Belum dihitung para pastor.

Tiap alumni mendapat sepucuk surat dari Pater Konrad Kebung Beoang SVD dan Pater Yanuarius Lobo SVD (bekas prefek saya di tingkat V). Isinya agar alumni STFK Ledalero “melihat kembali” almamaternya. Sumbangan alumni bisa macam-macam rupa: pikiran, finansial, doa, dan segala macamnya untuk kepentingan pengembangan sekolah tinggi filsafat ini ke depan.


Tanggal 22-23 Mei nanti ada pertemuan (sharing) para alumni di Ledalero. Pertemuan ini dalam rangka usia 40 tahun Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Kesempatan ini akan menjadi begitu penting untuk merasakan kembali denyut kehidupan almamater, sumbangannya bagi pembentukan jati diri alumni, dan momen merasakan bersama Gereja (sentire cum ecclesiae) apa yang menjadi kecemasannya, apa yang menjadi harapannya, dan apa yang menjadi impiannya ke masa depan untuk membentuk generasi baru di Flores.

Gagasan menyatukan alumni yang tersebar di mana-mana dan dalam bidang karya masing-masing disambut baik. Peserta pertemuan punya kata yang sama: Ledalero telah memberi kita dan apa yang dapat kita berikan untuk Ledalero. Dia ibarat ibu yang telah melahirkan anak-anaknya tanpa menuntut banyak bakti dari anak-anaknya. Alumninya telah dimatangkan oleh matahari dari ufuk timur yang bersandar di bukit Ledalero. Ibarat komoditas yang dipanen dengan matang, dijemur di bawah terik matahari. Hanya ada satu tujuan: menghasilkan “komoditas yang berkualitas”. Kualitas mungkin relatif. Tergantung pada penerimaan masing-masing orang. Segala sesuatunya diterima menurut cara si penerima dengan segala keunikan dan keterbatasannya. Dia ibarat talenta yang dibagikan: masing-masing orang menggenggam talenta menurut kemampuannya. Dia keluar dari Ledalero dengan talenta di tangan. Dia tanamkan itu di tempatnya masing-masing sehingga menghasilkan buah kebaikan di lingkungan sekitarnya.

Bisa juga ibarat benih. Ada yang jatuh di tanah yang subur. Ada yang setengah subur. Bahkan ada yang tumbuh di antara ilalang. Semua itu telah mewarnai kehidupan alumni Ledalero.

Tiap orang punya pengalamannya sendiri bagaimana dia meninggalkan Ledalero. Apa alasannya. Apa pula impiannya. Ke mana dia akan mencari tantangan baru. Ke mana perahu hendak berlayar. “Oh bayu senja, hembusan sang Ilahi. Bawa bidukku ke tepian yang cerah. Pantai umat tebusan” begitu lagu yang tiap kali menggema di Ledalero ketika para frater merayakan ekaristi.

Kita telah menerima dari Ledalero. Lalu, apa yang dapat kita berikan ke Ledalero. Ini satu pertanyaan penting. Menggema di hati tiap alumni. Tidak ada yang muluk-muluk.

Mungkin kita masih ingat mantan Gubernur NTT Herman Musakabe. Dia mengkampanyekan gerakan cinta almamater. Satu dari tujuh program strategisnya adalah meningkatkan sumber daya manusia NTT. Salah satu institusi yang melahirkan sumber daya manusia itu adalah institusi pendidikan. Pilihan ini adalah pilihan mendasar yang juga dilakukan oleh Gereja Katolik di Nusa Tenggara. Tiga bidang utama yang menjadi perhatian Gereja: pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

Ketika masih kecil, kampung saya yang berada di jalur Reo-Ruteng,Manggarai saya selalu mendengar nama beken Suster Virgula SSpS dari Cancar. Dari kampung ke kampung dia bersama tim medisnya melayani dengan sungguh, sabar dan tekun penduduk-penduduk miskin di pedesaan. Dia ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang mau mendapatkan pelayanan kesehatan. Banyak para pastor juga tidak hanya melayani misa di paroki dan berdoa secara pribadi untuk mencapai kekudusan pribadi, tapi melayani umat dengan sekuat tenaga dalam hal ekonomi dan pendidikan. Mereka berjalan kaki dari sekolah ke sekolah. Sekolah menjadi medan karya pastoral yang bagus. Mereka membangkitkan swadaya umat untuk berpartisipasi dalam membangun pendidikan.

Sudah sejak awal Gereja menyadari arti penting gender. Gereja membuka sekolah untuk putri-putri Flores. Memberi mereka kesempatan yang sama seperti laki-laki untuk mengenyam pendidikan dan menguasai keterampilan. Kita ingat SKKP. Sekolah-sekolah yang dikhususkan bagi putri.

Gereja Katolik memperkenalkan cara baru dalam pertanian. Bersama awam Katolik, Gereja Katolik membuka sekolah pertanian di Boawae. Sekarang tamatan sekolah ini banyak menjadi tenaga penyuluh lapangan (PPL) di birokrasi pemerintahan. Sampai sekarang sekolah itu masih aktif memproduksi tenaga terampil di bidang pertanian. Saya baru kembali dari sekolah tersebut dua hari lalu. Jumlah muridnya 400 orang. Datang dari berbagai daerah di NTT.

Sekarang banyak orang yang telah menikmati usaha ini, mengkritik model pendekatan pastoral ini dengan mengatakan, “pastor sak semen”. Kritikan ini mungkin ingin menekankan adanya proporsionalitas di dalam karya antara pewartaan iman dan pembangunan ekonomi. Namun di balik usaha itu, tampaknya ada keprihatinan mendalam dari para pastor mengenai kehidupan ekonomi umat. Kalau mau cari enak dan mau mencari kekudusan pribadi, duduk saja di pastoran, Menunggu orang datang. Atau pergi kunjung umat di stasi, kampung, atau sekolah-sekolah. Tapi banyak pastor tidak mau tidur nyenyak di pastoran. Mereka gelisah dengan kondisi ekonomi umat, kondisi kesehatan umat dan pola hidup umat. Mereka melakukan sesuatu. Mereka memberikan apa yang mereka bisa berikan. Tanpa menuntut lebih dari umat. Dan sampai sekarang banyak imam yang selalu gelisah melihat situasi umatnya.

Kita telah menerima semua itu dari tangan imam. Saya tidak ingin katakan semua hal mereka kerjakan untuk kita. Tapi mereka mengambil peran di bidang yang strategis, yang jadi simpul, yang bisa menggerakkan sesuatu. Saya kira mereka juga tidak berambisi jadi manusia super. Mereka miliki itu semua dalam “sebuah bejana tanah liat”. Namun mereka mempertaruhkan hidup mereka, mendedikikasi diri untuk kepentingan umat.

Kalau kita mengharapkan “persembahan” imam itu kepada umatnya baik dan bermutu, maka kita juga tidak bisa hanya ingin menerima buah yang baik, tanpa ikut ambil bagian dalam menanam dan menyiram. Paulus menanam, Apolos menyiram. Karenanya kita perlu ambil bagian di dalam proses mendidik para imam itu.

Dalam perayaan mengenang 100 tahun meninggalnya Santo Arnold Janssen, pendiri Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) di aula Biara Bruder Santo Konradus Ende, 15 Januari 2009 lalu, Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota mengatakan dengan jelas bahwa umat Katolik Flores berbangga dengan mengirim banyak misionaris ke luar negeri. Sampai saat ini sekitar 200 imam dan bruder dari Serikat Sabda Allah bekerja di lima benua. Belum termasuk suster-suster SSpS dari Flores. Panggilan yang subur ini tidak terlepas dari devosi-devosi yang benar yang diwariskan serikat ini kepada umat Katolik Flores.

Namun Uskup Agung ini juga mengajak – dia sebut sebagai lontaran gagasan – umat Katolik Flores untuk memikirkan dan membahas di dalam komunitas basis apa yang dapat disumbangkan umat Katolik Flores untuk kepentingan para misionaris ini. Menolong dan membantu kesulitan mereka di tanah-tanah misi.

Ajakan ini sudah mulai menyata. Dalam pertemuan kami Minggu 22 Maret 2009 itu, Piet Puli bilang Dewan Pastoral Paroki Onekore sudah menyetujui bahwa sebagian dari derma umat di Paroki ini disumbangkan bagi lembaga pendidikan calon imam tersebut. Saya kira ini berita bagus bahwa umat diajak untuk ikut bertanggung jawab. Karena yang dididik di lembaga itu adalah putra-putra mereka juga.

Alumni STFK Ledalero dan sebuah permintaan kecil dari almamater dalam rangka 40 tahun sekolah ini dapatlah dilihat dalam konteks keterlibatan di dalam proses pembentukan imam untuk menjawabi kebutuhan manusia modern saat ini. Imam-imam Katolik harus bisa menjawabi tuntutan zaman. Dia tidak boleh menarik diri dari peradaban modern. Tapi di masuk di dalamnya dan mengambil peran untuk mengarahkan perubahan itu di dalam terang Sabda Allah.

Kita boleh mengatakan, para imam tidak hanya manusia baru di dalam Kristus tapi manusia baru di dalam menghadapi tantangan zaman. Kemampuan mengelola arus zaman agar perahu kebaikan dan keadilan bersama itu tidak oleng kemoleng (meminjam istilah Pater Ozias Fernandes SVD saat masih kuliah dulu) menuju kebatilan. Tapi perahu dibawa oleh embusan Ilahi menuju kebaikan bersama (bonum commune). Dengan ini hendak saya katakan bahwa mungkin tidak terlalu fair jika kita menuntut pemberian yang terbaik dari almamater tanpa peduli dengan kondisi lembaga. Kita mengharapkan hasil cetak yang baik dan bermutu tapi masih menggunakan mesin tua.

Alumni berada dalam satu wadah bukan saja untuk kepentingan dapur pendidikan imam. Tapi juga kepentingan para alumni itu sendiri. Mereka adalah buah yang bisa dipetik dari panti pendidikan imam tersebut. Mereka juga agen pastoral yang mesti memberi citra positif bagi perkembangan masyarakat.

Saat ini sudah banyak alumni Ledalero berada di dalam birokrasi, di sektor swasta dan sudah ada pula yang berada pada posisi-posisi strategis yang bisa mengarahkan perubahan di dalam masyarakat. Tantangan yang tidak ringan adalah bagaimana memberikan citra positif pada perkembangan masyarakat. Dalam hal apa saja. Terutama kebutuhan politik riil di Flores sekarang yakni perlunya nilai-nilai dan moralitas dalam berpolitik. Bagaimana politik diabdikan bagi kepentingan rakyat banyak. Bagaimana politik tidak merusak martabat manusia. Tidak merusak lingkungan alam dan lingkungan sosial. Dalam bahasa Injil, bagaimana mereka menjadi garam dan terang dunia. “Kalau garam jadi tawar, dengan apa ia akan diasinkan”. Jika lampu diletakkan di bawah kaki dian, dia tidak bisa dilihat orang. Pelita harus ditempatkan di atas kaki dian agar semua orang bisa melihatnya.

Berada dalam jaringan alumni tidak lain ingin memperbesar jaringan kerja sama agar memberi warna pada kehidupan sosial politik dan budaya di Flores. Alumni adalah buah yang dipetik dari tempat bersandarnya matahari: Ledalero.
Read more...

20 Maret 2009

Ekowisata

Oleh Frans Obon

KETIKA berdiskusi di Harian Flores Pos, 29 November 2008, Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Manggarai Barat, Rafael Arhat bicara betapa pentingnya menjaga lingkungan hidup dalam konteks pengembangan pariwisata di Manggarai Barat.

“Jika kita bicara ekowisata, maka kontraproduktif dengan masalah pertambangan”.
Saat diskusi itu, Rafael masih menjabat Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Manggarai Barat. Dia dimutasi dan diangkat jadi Kepala Bapedalda Mabar, 21 Februari 2009 lalu.

Di Mailing List (Milis) Lonto Leok, sebuah forum curah gagasan kelompok Manggarai, Gerard Bibang memuat percakapan singkatnya dengan Rafael tentang komitmen menjaga lingkungan hidup sehingga tidak kontrapoduktif dengan pengelolaan pariwisata di Manggarai Barat.

Dia bilang, dia memimpin Dinas yang berseberangan dengan tambang. Dia tahu itu. “Saya mempertaruhkan jabatan demi lingkungan hidup. Tidak apa-apa. Kalau lingkungan hidup rusak, saya siap mundur, tapi kalau lingkungan aman, maka saya dinilai berhasil”.


Dia bilang telah jadi komitmennya sejak dia lantik untuk menjaga lingkungan hidup. Dia siap bergandeng tangan dengan pemerhati lingkungan hidup melawan segala bentuk aktivitas yang cenderung merusak lingkungan termasuk tambang.

Dalam milis itu, Gerard Bibang menilai pribadi Rafael Arhat sebagai pribadi yang luwes dan komunikatif. “Sebagai lulusan sastra Inggris dari Denpasar, beliau bisa berkomunikasi lintas batas dan wawasannya sangat internasional.”

Gerard menyimpulkan,” RA (Rafael Arhat) memberikan saya satu point baru dalam gerakan tolak tambang: Dalam birokrat, ada juga rekan-rekan seperjuangan kita”.

Pada pertemuan dengan para mahasiswa dan Ikatan Keluarga Manggarai di Ende pada sore harinya, dia bicara panjang lebar strategi pengembangan pariwisata di Manggarai Barat. Apalagi dia adalah Ketua Forum Pariwisata Manggarai Barat.

Forum Pariwisata Manggarai Barat yang didukung Swisscontact mengadakan survei kepuasan wisatawan saat mengunjungi objek wisata di Manggarai Barat. Umumnya wisatawan senang dengan objek wisata, namun pelaku wisata perlu memberi perhatian pada kebersihan di tempat-tempat wisata, pemandu yang profesional, dan fasilitas yang diharapkan diperbaiki dari tahun ke tahun.

Dari survei itu, wisatawan tidak saja hanya senang melihat komodo, yang merupakan maskot wisata Mabar, tapi juga treking dan hiking. Alam Mabar memberikan kesegaran bagi wisatawan. Lihatlah dalam website floreskomodo.com, West Flores: Komodo & so Much More, banyak objek wisata alam dan budaya begitu menarik.

Peserta diskusi di Ende mencemaskan tempat masyarakat lokal dalam pengembangan wisata Mabar. Seperti kekhawatiran umum untuk daerah wisata, masyarakat lokal akan tersingkir. Sekarang memang dirasakan. Sayur mayur dan buah-buahan didatangkan dari Bima (Nusa Tenggara Barat) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Mestinya ini disuplai masyarakat lokal. Karena daerah pertanian di Manggarai Barat terkenal suburnya dibandingkan wilayah lainnya di Manggarai. Masalahnya orientasi pembangunan tidak menitikberatkan pada pengembangan pertanian. Akibatnya pertanian kita berjalan di tempat.

Rafael sendiri bilang pada diskusi itu, perencanaan pembangunan berjalan parsial, tidak tersistemik. Masing-masing bagian berjalan sendiri-sendiri. Menciptakan proyek pembangunan, yang tidak tersistemik dan tak terkoneksi dengan yang lainnya. Karena memang tidak ada simpul. Simpul ditentukan oleh faktor kepemimpinan.

Sekarang ini, dipelopori oleh Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan (Ordo Fratrum Minorum) dan Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) Gereja Katolik, ada penolakan terhadap usaha pertambangan di Flores. Pertambangan dinilai merusak lingkungan dan tanah Flores yang kecil itu. Bahkan di beberapa tempat, wilayah pertambangan terdapat di lahan pertanian warga.

Sudah saatnya pemerintah daerah dan rakyat Flores membuka mata untuk tidak mudah menjatuhkan pilihan pada pertambangan sebagai salah satu usaha untuk mensejahterakan mereka. Artikel-artikel media lokal sudah meneriakkan bahwa Flores bisa dibangun tanpa tambang. Belum ada cukup bukti sebuah daerah dan masyarakat lokal maju karena mengandalkan tambang. Di Serise, masyarakat di sekitar tambang masih dibelit kemiskinan. Padahal tambang mangan itu sudah lama beroperasi.

Gerakan ekowisata adalah sebuah kampanye untuk memelihara lingkungan alam, lingkungan sosial serta kultural rakyat Manggarai dan Flores. Sekaligus membuka mata para pemimpin kita bahwa tanpa tambang, kita bisa sejahtera.

Kita mulai gerakan itu dari Manggarai Barat. Dan terus bergema di seluruh Flores. Kecuali kita mau mempertaruhkan masa depan kita. Birokrasi pemerintahan kita yang lahir dari rahim Flores, kita ajak untuk tidak mudah mempertaruhkan masa depan pulau kecil ini.

Read more...

09 Maret 2009

Berebut Klaim

Oleh Frans Obon

TIGA partai politik merebut satu klaim: swasembada beras. Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Golkar duluan mengiklankan bahwa tokoh-tokoh Golkar di pemerintahan telah sukses membuat Indonesia swasembada beras. PKS bikin iklan. Arsitek swasembada beras itu adalah tokoh PKS. Menteri Pertanian Anto Apriantono adalah menteri dari PKS. Partai Demokrat bikin iklan pidato Presiden SBY di parlemen mengenai swasembada beras. “Siapa dulu presidennya. Terima kasih SBY” bunyi iklannya.


Golkar dalam sepanjang sejarah Orde Baru sudah amat sering mengklaim kesuksesannya tiap kali pemilu. Sejak saya kecil hingga akhir masa pemerintahan Soeharto, kita sudah sangat sering mendengar klaim keberhasilan Golkar. Kampanye politiknya lebih banyak mengklaim: puskesmas, rumah sakit, sekolah, jalan raya, jembatan dibangun Golkar.

Tetapi kegagalan Orde Baru Soeharto terutama rentannya fondasi ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis 1998, tidak diakui sebagai kegagalan strategi pembangunan Golkar. Golkar terkesan menghindari kegagalan ekonomi Indonesia ditimpakan pada dirinya.

Pemilu 1999 memang Golkar kalah dan berada di nomor urut 2 di bawah PDI Perjuangan. Beban krisis itu langsung dihadapi oleh PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu. Namun, konstitusi Indonesia tidak secara otomatis memberikan jabatan presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi eksekutif kepada partai pemenang pemilu. PDI Perjuangan harus menerima kenyataan disalib Poros Tengah dengan mendudukkan Presiden Abdurrahman Wahid dan menempatkan Megawati di posisi Wakil Presiden. Kisruh politik tidak berhenti. Abdurahman Wahid di-impeachement oleh MPR dan Megawati naik ke kursi presiden. Beban krisis akhirnya harus dihadapi oleh pemerintahan Megawati. Namun, posisi Megawati dipersulit oleh perilaku politik anggota DPR/DPRD PDI Perjuangan di parlemen. Skandal korupsi dan perilaku anggota parlemen nasional dan lokal telah menghancurkan citra PDI Perjuangan. Apalagi PDI Perjuangan yang dulu partai gurem di masa Orde Baru tidak memiliki sumber daya dan media yang cukup untuk mempengaruhi opini publik. Selama tiga tahun pemerintahan Megawati, pemberitaan media cetak dan elektronik telah mempengaruhi citra PDI Perjuangan dan pemerintahan Megawati.
Situasi ini menguntungkan posisi Golkar, yang memang memiliki sumber daya dan menguasai media komunikasi. Mobilisasi sumber daya di Golkar akhirnya menempatkan partai itu kembali merebut kemenangan pada Pemilu 2004.

Ketika saya mendengar iklan swasembada beras di televisi dari Partai Golkar, iklan damai yang dialami masyarakat Poso, Ambon sekarang karena proses perdamaiannya ditangani tokoh-tokoh Golkar di pemerintahan, ingatan saya kembali ke masa silam Orde Baru tentang klaim klasik Golkar. Golkar klaim kesuksesan namun menolak bertanggung jawab atas krisis.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak kalah. Partai ini mau merebut dukungan massa dengan menggunakan isu yang sama. Menteri Pertanian Anto Apriantono disebut sebagai arsitek dari keberhasilan itu. Selain masalah pangan, PKS mengandalkan “bersihnya” anggota parlemen nasional dari skandal korupsi yang sering menimpa DPR RI.

Demokrat, partainya presiden, keburu menggunakan isu yang sama. Iklannya menampilkan pidato presiden mengenai kesuksesan Indonesia mencapai swasembada beras. Tampaknya Partai Demokrat tidak mau ketinggalan untuk mengklaim swasembada beras sebagai kesuksesan presiden, selain isu sukses menurunkan BBM.

Isu pangan juga dipakai PDI Perjuangan dengan kemasan sembako murah dan pembukaan lapangan kerja baru untuk menggalang dukungan rakyat.

Politik telah dipasarkan melalui iklan dan media. Pembentukan citra melalui media telah mendorong partai-partai utama dalam politik Indonesia merebut klaim keberhasilan. Ketika politik dipasarkan seperti barang di pasar pemilih, kritikan telah dianggap sebagai fitnah. Partai menjaga nama baiknya. Pemimpin menjaga nama baiknya. Kritikan dengan mudah dianggap sebagai fitnah. Iklan politik telah membuat negara menjadi sebuah teater raksasa.

Kita di Flores sudah jenuh dengan iklan politik. Di Jakarta partai politik mengkampanyekan swasembada beras. Namun di Manggarai dan Ngada, kita sering temukan pupuk langka. Petani susah mendapatkannya. Pupuk bersubsidi dijual mahal. Tikus menyerang sawah petani. Orang berkelahi karena beras miskin. Kepala desa tidak becus mengurus raskin. Kepala desa menjual beras miskin. Angka kemiskinan bertambah karena untuk mendapatkan raskin orang harus jadi miskin dulu. Televisi menghibur kita dengan klaim dan janji. Di alam nyata hidup kita jadi susah. Mungkin karena itu orang Flores sering mengatakan, “jangan main politik dengan saya”. Itu sama artinya, “Jangan membohongi saya”. Ini jelas gambaran pendidikan politik yang buruk.

Read more...

Netralitas PNS

Oleh Frans Obon

NETRALITAS pegawai negeri sipil. Kita meneriakkan kata netralitas itu tiap kali pemilihan umum. Di tingkat lokal, kita meneriakkan kata yang sama.

Kita barangkali belajar dari politik Orde Baru yang menggunakan birokrasi sebagai salah satu mesin politiknya. Jalur B dalam Partai Golkar adalah tempat menampung mesin birokrasi itu. Mesin politik Golkar di masa Orde Baru pun begitu powerfull sehingga efektif sampai ke akar rumput.


Kita belajar dari pengalaman buruk tersebut. Karena keterlibatan pegawai negeri sipil dalam pemilu menciptakan ketidakadilan. Sumber daya negara (milik rakyat) seperti fasilitas publik, dana perjalanan dinas, dan mendompleng tugas pokok birokrasi telah menyalahi asas keadilan, asas fairness dalam pemilu.

Reformasi menambah volume suara teriakan kita makin kuat untuk menghentikan keterlibatan pegawai negeri sipil dalam politik pemilu nasional dan lokal. Birokrasi sungguh didorong untuk menjadi mesin pelayanan publik yang mengatasi semua kepentingan politik. Jabatan Sekretaris Daerah menjadi jabatan puncak dalam karier seorang pegawai negeri sipil.

Jika pegawai negeri sipil terjun dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau menjadi calon legislatif maka dia harus mengundurkan diri. Aturan itu tentu mau menjunjung tinggi asas fairness. Mencegah seseorang menyalahgunakan fasilitas publik untuk kepentingan politiknya. Birokrasi dengan demikian sungguh menjadi abdi masyarakat yang profesional, efektif, dan efisien. Karena birokrasi menjangkarkan pelayanan publik yang rasional, efisien, dan efektif.

Ideal itu sama sekali tidak tercapai. Pengalaman di banyak kabupaten di Flores dan Timor serta Sumba sungguh memperlihatkan bahwa pegawai negeri sipil memainkan peran tidak kecil di dalam membolisasi dukungan suara dalam pemilu baik pilkada maupun pemilu legislatif. Semua itu dilakukan tidak secara terang-terangan melainkan menggunakan jalur extended family dan persuasi lainnya ketika melakukan kunjungan kerja ke tengah masyarakat.

Dalam sejarah politik Indonesia hingga sekarang mesin birokrasi itu selalu jadi magnet bagi partai politik. Pertama, karena birokrasi memiliki jaringan ke massa akar rumput di pedesaan yang umumnya bersifat paternalistik. Sehingga birokrasi menjadi ajang perebutan partai politik. Lihat saja parpol menghitung calon partai yang memenangkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kedua, kepentingan pegawai negeri sipil itu sendiri dalam merebut sumber daya di dalam pemerintahan baik jabatan maupun sumber daya ekonomi.

Mengenai yang pertama, ada tali temali kepentingan antara massa akar rumput terutama extended family seorang pegawai negeri sipil. Kebijakan pemerintah SBY-JK untuk secara bertahap mengangkat tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil adalah peluang baru untuk memperkuat hubungan simbiosis mutualisme di kalangan seorang PNS sebagai elite birokrasi perkotaan dengan massa akar rumput berbasis keluarga di pedesaan.

Terbatasnya lapangan kerja bagi tamatan perguruan tinggi membuat birokrasi pemerintahan menjadi salah satu alternatif terbaik, apalagi dari segi jaminan ekonomi. Elite birokrasi pemerintahan menarik orang-orang di lingkaran pendukung kekuasaannya menjadi tenaga honorer. Karenanya jika meneliti pengangkatan tenaga honorer di daerah-daerah, hampir pasti masih bertali temali kekeluargaan dengan pejabat pemerintahan. Sebab tidak ada proses rekrutmen terbuka di sana. Sebagai balasannya massa pedesaan akan mendukung kepentingan politik elite birokrasi tersebut.

Kedua, hubungan simbiosis mutualisme ini dengan basis kekeluargaan pada waktunya akan dipakai oleh elite birokrasi untuk mendukung kepentingannya dalam pilkada. Bukanlah hal mudah bagi PNS untuk bersikap netral dalam pilkada. Siapa yang tidak menabur, dia tidak akan menuai.

Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah bersama kongsinya di birokrasi dan pemilik modal bersatu padu untuk menggalang dukungan bagi kemenangan calon kepala daerah. Keuntungan yang dia peroleh nanti adalah dia menduduki jabatan kepala dinas di dalam pemerintahan lokal yang baru itu. Jika dia tidak ikut dalam kongsi tersebut, dia akan berada di luar lingkar elite pemerintahan baru. Dia akan menempati posisi staf ahli, yang di dalam konteks daerah sering posisi tersebut disebut “non-job” secara halus.

Dalam banyak contoh meski elite birokrasi yang dekat dengan bupati dan wakil bupati itu kemampuannya tidak memadai, moralitasnya buruk, menyalahgunakan kekuasaannya, dia tidak akan dilepaskan dari jabatannya. Karena mereka sudah saling tahu dan saling menyokong dalam perebutan kekuasaan politik pemerintahan. Karena itu dalam pilkada, yang paling berkepentingan adalah pegawai negeri sipil.

Mentalitas proyek di kalangan birokrasi daerah ikut menyuburkan keterlibatan “sembunyi-sembunyi” pegawai negeri sipil dalam kampanye politik calon anggota legislatif. Kita tahu hak budget Dewan cukup mempengaruhi hubungan birokrasi dan legislatif. Kepala dinas, misalnya, berkepentingan dengan persetujuan DPRD dalam program-program dinas yang dipimpinnya. Dinas membutuhkan dana-dana untuk membiayai program mereka. Mereka berharap panitia anggaran DPRD tidak mencoretnya. Lobi-lobi ke arah itu intens dilakukan. Kalau kepala dinas itu terlibat di dalam mendorong dukungan massa bagi calon, maka akan “diperhitungkan” dalam relasi birokrasi-legislatif di DPRD.

Mengapa kepala dinas itu begitu “dikejar” elite birokrasi lokal, karena dana-dana yang membiayai program mereka cukup besar. Peluang untuk “korupsi” dengan cara yang lebih “pintar” dapat dilakukan. Apakah program itu mencerminkan visi, misi, dan program bupati dan wakil bupati terpilih, bukanlah masalah. Parsialitas dalam perencanaan pembangunan di daerah itu sudah biasa dilakukan. Karenanya pemaparan visi, misi, dan program calon bupati dan wakil bupati terpilih itu tidak bermanfaat banyak.
Read more...

Flores Perlu Tetap Terjaga

Oleh Frans Obon

MENJELANG akhir tahun, polisi menangkap dan menahan pemakai dan pemilik ganja kering seberat 0,5 kg di Kota Ende. Polisi menduga bahwa dia tidak hanya sebagai pengguna, melainkan juga pengedar. Dia memiliki jaringan penjualan di Flores. Karenanya polisi akan terus menyelidiki jaringan tersebut. Pintu masuk ganja ini adalah Maumere. Dikirim melalui ekspeditur.


Masih menurut polisi, kasus ini terungkap karena polisi sudah melakukan pengintaian 2-3 bulan. Semuanya berawal dari pengawasan terhadap para pendatang baru di daerah ini. Polisi melakukan penggerebekan dan menemukan ganja kering, tembakau, dan kertas rokok sebanyak 13 buah. Polisi bilang bahwa kasus ini terbilang terbesar di NTT pada tahun ini.

Kasus ini yang pertama dan terbesar di Flores. Meski pelaku mengatakan dia hanya menggunakan untuk dirinya sendiri, namun penyediaan dalam jumlah besar tentu saja menimbulkan kekhawatiran. Polisi memiliki metode dan cara kerjanya sendiri untuk menyelidiki lebih jauh kemungkinan adanya jaringan dalam kasus ini. Karena sama sekali tidak tertutup kemungkinan alasan yang dikemukakan pelaku hanyalah sebuah alibi.

Bagi kita kasus ini hendaknya membuka mata agar kita tetap terjaga. Kita telah membuka pintu Flores bagi mobilitas penduduk pada masa globalisasi ini. Kemajuan pembangunan dan transportasi telah memungkinkan hal tersebut. Makin ke depan, makin besar peluang kasus-kasus seperti ini muncul. Bukan hanya soal jumlah kasus, tetapi intensitasnya bisa saja lebih besar dan meningkat.

Mungkin pergerakan kasus-kasus seperti ini sudah lebih besar di bawah permukaan. Mungkin ini gejala gunung es. Kita tidak tahu persis. Namun sikap waspada itu perlu.
Kita punya tanggung jawab bersama untuk menjaga Flores dari bahaya-bahaya penghancuran generasi masa depan ini. Kita punya tanggung jawab untuk membawa anak-anak kita ke masa depan yang lebih baik. Kita punya tanggung jawab untuk menghasilkan generasi bermutu. Kita punya tanggung jawab untuk mewariskan kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Beredarnya ganja, narkotika, dan berbagai jenis zat adiktif di Flores hendaknya dipandang sebagai ancaman serius yang kita harus hadapi bersama. Daerah ini telah begitu miskin dan kemiskinan mengakibatkan mutu sumber daya manusianya rata net. Kita perlu membangun solidaritas agar tidak ada orang yang dapat uang dengan mengorbankan orang lain.

Kita perlu uang tapi tidak perlu menghancurkan masa depan orang lain. Kita perlu membangun kesadaran bersama bahwa kita punya tanggung jawab untuk menjaga daerah ini dari hal-hal destruktif. Kita sama-sama membangun budaya cinta akan kehidupan. Kita perlu suarakan hal itu terus menerus demi kehidupan. Kita terus menyuarakan agar Flores tetap terjaga.

Flores Pos | Bentara | Narkotika
| 31 Desember 2008 |

Read more...

Natal Membarui Diri Kita

Oleh Frans Obon

NATAL datang lagi. Kita sambut dengan gembira. Lagu-lagu Natal menggema di gereja-gereja. Di rumah-rumah. Ada kunjungan ke rumah-rumah. Ada iklan ucapan selamat Natal. Ada sedekah ke panti-panti asuhan. Ada seribu macam aksi lahiriah lainnya.

Sudah amat lazim kita dengar bahwa Natal adalah sebuah bentuk solidaritas Allah dengan manusia. Allah mengambil rupa seorang manusia, mengalami situasi manusia, dan menebusnya agar manusia mendapatkan kembali kemuliaannya sebagai anak-anak Allah di dalam Anak (filii in Filio). Cara Allah masuk dalam situasi manusia mengambil cara yang paling hina dan sederhana. Dia dilahirkan di kandang hina. Dalam serba keterbatasan. Dari keluarga sederhana.


Jika Allah solider dengan manusia, maka sudah seharusnya manusia solider dengan sesamanya. Merasa senasib dan sepenanggungan dengan sesama yang menderita, yang hina, yang terpinggirkan, dan yang menjadi korban dari ketidakadilan politik, ekonomi, budaya dan sosial. Mesti ada usaha yang kuat untuk memihak kepada orang-orang yang lemah dan hina. Orang-orang yang tidak bisa membela diri mereka.

Natal dalam arti tertentu adalah perayaan keluarga. Allah datang mengunjungi keluarga-keluarga kita masing-masing. Allah membarui keluarga-keluarga kita, agar di dalam keluarga-keluarga kita tumbuh dan mengakar hal-hal rohaniah. Anak-anak kita tumbuh dalam jiwa yang penuh sukacita, dalam semangat kegembiraan, dan semangat solider dengan orang lain. Keluarga kita menjadi tempat tumbuhnya iman yang benar, sehingga kita menyembah Allah dengan cara yang benar.

Kalau kita membaca seluruh kisah Yesus di dalam Perjanjian Baru, kita jumpai suatu tuntutan untuk membarui diri dari cara kita beragama dan melaksanakan ritus-ritus keagamaan. Yesus mengkritik dengan pedas cara beragama yang sifatnya formalitas belaka. Dia ingin ada komitmen sosial dari perayaan keagamaan kita.

Sudah banyak sekali kritikan dikedepankan mengenai cara beragama kita, yang lebih mementingkan formalitas daripada penghayatan riil dalam kehidupan sosial kita. Perayaan-perayaan kita meriah. Tetapi sepi di dalam penghayatannya. Lagu-lagu kita gegap gempita, tapi sikap kita tidak gegap gembita.

Kehidupan politik kita belum menampakkan adanya pembaruan. Kehidupan sosial kita masih bopeng oleh ketidakadilan. Oleh praktik politik yang tidak manusiawi. Iklan ucapan Natal kita lebih untuk menarik pemilih daripada ekspresi politik yang penuh etika yang berjalan di atas nilai-nilai Injili.

Inilah momennya. Natal hendaknya membarui diri kita, membarui lingkungan sosial, politik, dan budaya kita. Natal adalah sebuah teks yang selalu memberi kita makna, yang tidak pernah ada habisnya.

Flores Pos | Bentara | Natal
|30 Desember 2008 |
Read more...

Perencanaan Berperspektif Bencana

Oleh Frans Obon

BANYAK yang bilang Nusa Tenggara Timur bukan saja miskin secara ekonomis, namun juga menjadi etalase atau toserba bencana. Tiap tahun selalu terjadi bencana. Namun masyarakat tidak pernah bisa belajar dari bencana ke bencana. Bencana alam, bencana sosial silih berganti.


Bencana membuat masyarakat kita tambah miskin. Kerugian yang ditimbulkan bencana tiap tahun miliaran rupiah. Banyak komoditas warga disapu banjir. Lahan pertanian jadi tidak produktif karena makin kritis. Sawah yang dulu dikerjakan dua kali setahun sudah kekurangan air. Ini akibat hutan dibabat habis. Banjir meluap. Karena daerah tangkapan air diubah menjadi kawasan pemukiman atau lahan pertanian. Semuanya terkesan tidak terkendali. Kalau sumber-sumber pendapatan ini disapu bencana tiap tahun, maka sudah dapat dipastikan sumber penghidupan warga terganggu. Siklus ini akan berpengaruh pada terjadinya kasus busung lapar. Sumber daya manusia dipertaruhkan di sini.

Solusi terhadap masalah bencana dibuat secara instan. Kucuran dana bencana miliaran rupiah oleh pemerintah pusat telah mengubah mentalitas masyarakat. Di sisi pemerintah, bencana adalah proyek. Mentalitas proyek telah menusuk masuk. Di sana ada cerita keuntungan. Di sisi masyarakat, dana gratis pemerintah ini menciptakan ketergantungan. Masyarakat dilatih menadahkan tangannya. Pemerintah bayar tunai. Karenanya tiap kali bencana masyarakat minta dan menuntut dari pemerintah.

Salahnya di mana? Bantuan darurat (emergensi) itu bukan berarti tidak kita butuhkan. Respon darurat diberikan ketika bencana terjadi. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mencegah bencana dan bagaimana kita menyiapkan masyarakat untuk menghadapi bencana. Tentu kita pilah, mana bencana yang dapat kita cegah dan mana yang tidak bisa kita hindari.

Bencana bisa kita cegah dimulai dari perencanaan pembangunan. Setiap Organisasi Perangkat Daerah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam perencanaan program kerja mesti memperhitungkan aspek kebencanaan. Perencanaan berperspektif kebencanaan. Perencanaan dan pemanfaatan tata ruang memperhitungkan potensi bencana. Pemerintah dalam hal ini bertindak tegas terhadap pemanfaatan tata ruang jika berpotensi terjadinya bencana.

Langkah kedua adalah membangun kapasitas masyarakat. Cara ini akan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada bantuan dari luar. Masyarakat lokal menggali seluruh potensi lokal untuk menghadapi bencana. Ada kesepakatan antarmereka mengenai pemanfaatan tata ruang, mengurangi risiko banjir dan tanah longsor, dan tidak merambah hutan di daerah tangkapan air hujan untuk irigasi sawah.

Karena itu sudah saatnya perencanaan pembangunan kita dibuat dalam bingkai berprespektif kebencanaan. Kita mulai dari sana.

Flores Pos | Bentara | Bencana
|9 Desember 2008 |
Read more...

Orang Cacat Juga Mampu

Oleh Frans Obon

DALAM seminar sehari yang digelar Flores Institute for Resources Development (FIRD) Ende dalam rangka perayaan Hari Penyandang Cacat Sedunia, Rabu lalu pada sesi syering pengalaman seorang penyandang cacat Ahmad Yani, terlihat jelas bahwa orang cacat juga punya kemampuan untuk mengatasi masalah mereka, punya kemampuan untuk memenuhi sendiri kebutuhan mereka.


Pada peringatan kali ini, temanya Dignity and Justice for All of Us (Martabat dan Keadilan untuk Semua dari Kita). Undang-undang No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat sudah mengatur tentang persamaan hak tanpa diskriminasi terhadap orang-orang cacat.

Undang-undang ini menegaskan bahwa orang cacat juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak, berhak mendapatkan pekerjaan, dan berhak atas aksesibilitas dan partisipasi. Pendek kata, undang-undang telah menjamin hak-hak para penyandang cacat. Namun dalam praktiknya, hampir semua daerah tidak berusaha mengimplementasikannya. Masih banyak kita jumpai halangan-halangan yang membuat orang cacat tidak bisa memenuhi hak mereka.

Hak mendapatkan pekerjaannya, misalnya. Syarat sehat jasmani dan rohani pada saat testing pegawai negeri dilihat sebagai halangan bagi orang cacat mendapatkan pekerjaan di sektor pemerintahan. Padahal untuk jenis pekerjaan tertentu di perkantoran pemerintah mereka bisa lakukan. Tetapi mereka tidak bisa mendapatkannya karena syarat sehat jasmani dan rohani yang didefinisikan tidak adanya peluang untuk menerima orang cacat fisik.

Selain itu fasilitas-fasilitas publik yang dibangun pemerintah juga tidak mengakomodasi kebutuhan orang cacat. Tidak saja pada fasilitas publik. Di rumah orang tua mereka sendiri, hampir tidak disediakan fasilitas yang memenuhi kebutuhan mereka. Dengan ini mereka sudah disingkirkan mulai dari rumah hingga ke publik.

Sebenarnya yang mesti diubah adalah persepsi kita mengenai orang cacat. Umumnya kita melihat orang cacat itu sebagai orang sakit. Orang yang patut dibelaskasihani. Persepsi yang keliru ini berdampak pada pendekatan terhadap penanganan masalah orang cacat. Selama ini pemerintah menggunakan pendekatan karitatif. Orang cacat dipandang sebagai orang sakit yang pantas menerima belaskasihan.

Sekaranglah saatnya kita meninggalkan model karitatif. Kita menggunakan model pemberdayaan. Pendekatan ini tidak lain melihat orang cacat sebagai orang yang punya kemampuan khusus, yang berbeda dari orang yang bukan cacat. Mereka memiliki kemampuan khusus yang mesti diberdayakan. Karenanya pemerintah mesti menggelontorkan anggaran untuk pemberdayaan orang cacat. Ini hanya bisa dilakukan kalau persepsi kita berubah bahwa orang cacat juga mampu melakukan sesuatu.

Flores Pos | Bentara | Cacat
|6 Desember 2008 |
Read more...

Lebih Baik Beasiswa

Oleh Frans Obon

DINAS Pendidikan Nusa Tenggara Timur (NTT) mau mengusulkan dana sebesar Rp3 miliar untuk membantu mahasiswa yang hendak menyusun skripsi. Tujuannya tentu saja mau meringankan biaya mahasiswa. Karena umunya pada semester-semester akhir para mahasiswa membutuhkan dana cukup banyak. Proyek skripsi ini, kita sebut saja begitu, mesti dilihat kembali.


Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur Esthon Foenay dalam kampanye pencalonan mereka Juni lalu menjanjikan pendidikan murah. Pergeseran dari pendidikan gratis ke pendidikan murah itu muncul ketika ada diskusi luas di masyarakat bahwa gagasan pendidikan gratis itu sesuatu yang mustahil. Yang paling masuk akal adalah pendidikan murah. Pendidikan murah itu terfokus pada program beasiswa. Janji itulah yang dipegang rakyat. Janji tersebut tidak tampak lagi. Dinas Pendidikan NTT sebenarnya harus menerjemahkan visi, misi, dan program gubernur dan wakil gubernur.

Program pemberian beasiswa jauh lebih berdaya guna daripada program bantuan membuat skripsi. Pemerintah pusat tahun depan akan mengalokasikan dana yang cukup besar di bidang pendidikan melalui dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan akan ada alokasi dana dari pemerintah daerah untuk menambahnya. Komitmen politik di tingkat nasional sudah ada setelah Mahkamah Konstitusi mengambulkan judicial review atas perintah undang-undang untuk menyediakan dana 20 persen bagi pendidikan nasional. Konsekuensinya adalah biaya pendidikan makin murah ke depan.

Jika pendidikan makin murah – terpenting tidak ada lagi korupsi dana BOS – terutama di tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan menengah atas, maka beban orang tua makin ringan pula. Maka makin banyak pula orang berkesempatan menikmati pendidikan.

Yang jauh lebih efektif dan yang mesti dilakukan pemerintah Provinsi NTT adalah memberikan beasiswa ke jenjang master atau doktoral. Ini jauh lebih penting. Apa yang dibutuhkan rakyat NTT? Pertanian, perikanan, kelautan, komunikasi multietnik? Kirim orang ke jenjang master dan doktoral untuk bidang-bidang yang dibutuhkan rakyat NTT. Beasiswa ini tidak boleh terbatas pada pegawai negeri saja, melainkan tamatan-tamatan yang bermutu dari perguruan tinggi-perguruan tinggi di NTT termasuk dosen-dosen.

Kita andaikan saja bahwa untuk biaya studi master di dalam negeri, per orang dibutuhkan dana Rp50 juta. Maka dua tahun kemudian, NTT menghasilkan master 60 orang. Maka dalam kurun 5 tahun kepemimpinan Lebu Raya dan Esthon Foenay, NTT bisa menghasilkan seratusan lebih master dalam berbagai bidang. Ini akan menjadi tonggak kepemimpinan Lebu Raya-Esthon Foenay. Asumsi kita adalah sumber daya manusia NTT baik di level pengambil kebijakan maupun di perguruan tinggi serta orang-orang yang terjun ke dunia swasta akan makin bermutu dan inovasi-inovasi pun akan muncul pula.

Flores Pos | Bentara | Pendidikan
| 5 Desember 2005 |
Read more...

Rencana Terpadu Wisata Flores

Oleh Frans Obon

ADA usulan menarik ketika Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Manggarai Barat, Rafael Arhat berdiskusi di aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah, Sabtu (29/11).

Ini untuk pertama kalinya Harian Flores Pos mengundang Kepala Bappeda untuk membahas secara khusus perencanaan pembangunan di sebuah daerah. Dalam diskusi itu ditegaskan oleh Ketua Bappeda Manggarai Barat bahwa paparan pembangunan Manggarai Barat dalam diskusi tersebut hanyalah sebuah locus dalam konteks perencanaan.


Usulan menarik itu datang dari Direktur Flores Institute for Resources Development (FIRD) Roni So. Manggarai Barat sebagai pintu barat Pulau Flores dalam pengelolaan wisata harus memberi citra pada pembangunan wisata Flores.

Di Labuan Bajo, pada pintu-pintu masuk dipasang papan: Selamat Datang di Flores. Bukan selamat datang di Manggarai Barat atau di Labuan Bajo. Papan itu akan menunjukkan bahwa pengelolaan wisata Flores tidak dilakukan secara parsial. Ketua Bappeda Rafael Arhat setuju dengan usulan itu. Sebagai Ketua Forum Pariwisata Manggarai Barat dia melihat usulan ini menarik. Karena Manggarai Barat mempromosikan objek wisatanya dengan “West Flores: Komodo & So Much More”.

Dari diskusi itu tereksplisit adanya rekomendasi untuk membangun wisata di Flores secara terpadu. Dalam kasus Manggarai Barat, meningkatnya kunjungan wisatawan di wilayah itu dan objek kunjungan tidak hanya komodo seharusnya membuka mata masyarakat untuk menyuplai kebutuhan wisatawan.

Selama ini sayur-sayuran dan buah-buahan dipasok dari Bima, Nusa Tenggara Barat dan Makassar, Sulawesi Selatan. Mestinya itu disuplai oleh masyarakat Manggarai Barat atau masyarakat Flores sendiri, sehingga masyarakat di sinilah yang mendapatkan keuntungan dari objek wisata.

Sesungguhnya Flores amat kaya dengan objek wisata baik wisata alam, budaya, dan religius. Semua itu belum dikemas dan dijual secara terpadu. Rafael Arhat menggunakan analogi sapu lidi untuk menggambarkan hal ini. Jika sembilan kabupaten di Flores membuat perencanaan terpadu dalam mengelola wisata, maka sinergitas yang luar biasa ini akan dapat memberikan keuntungan bagi wilayah ini.

Daya tawar pemerintah daerah di Flores dan Lembata di tingkat nasional juga akan jauh lebih kuat karena ada sembilan bupati dan sembilan ketua DPRD bergabung dalam satu forum.

Untuk memudahkan perencanaan terpadu itu, maka perlu dibentuk forum pariwisata di setiap kabupaten. Forum inilah yang akan bersama-sama membahas pengelolaan potensi wisata di Flores. Objek wisata yang begitu kaya di Flores akan dikembangkan maksimal sehingga memberikan keuntungan bagi masyarakat.

Flores Bentara Wisata
4 Desember 2008
Read more...

Organisasi Penyandang Cacat

Oleh Frans Obon

PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa menetapkan 3 Desember sebagai Hari Penyandang Cacat Sedunia. “Martabat dan Keadilan untuk Semua (Dignity and Justice for all of us) adalah tema perayaan. Tema yang sama ini dipakai untuk perayaan 60 tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Di tingkat nasional dan lokal, perayaannya bervariatif.

Harian Flores Pos dan Flores Institute for Resources Development (FIRD) menggelar diskusi bersama, Selasa (2/12) di aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah. Diskusi ini mau mendapatkan input sebanyak mungkin untuk menemukan intervensi yang tepat menangani masalah penyandang cacat baik di tingkat basis masyarakat, di tingkat pemerintah lokal maupun legislatif.


Dari pengalaman FIRD kita tahu bahwa masih banyak persoalan di sekitar penyandang cacat yang belum ditangani dengan baik. Ini disebabkan karena tingkat pemahaman dan pengetahuan masyarakat masih minim. Hal yang sama ditemukan dalam pelayanan publik pemerintah.

Fasilitas publik yang dibangun pemerintah tidak menjamin keamanan dan kenyamanan penyandang cacat. Pemerintah juga belum sepenuhnya memenuhi hak-hak penyandang cacat, terutama dalam hal jaminan sosial. Perangkat hukum yang meregulasi urusan penyandang cacat sudah tersedia namun implementasi undang-undang masih terbatas.

Kita boleh mengatakan bahwa pemerintah masih terbatas perhatiannya dan kepeduliannya pada masalah penyandang cacat. Sampai saat ini alokasi anggaran yang memungkinkan penyandang cacat mampu memberdayakan diri mereka masih terbatas. Seluruh perencanaan di tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sama sekali tidak berperspektif kecacatan.

Kelemahannya jelas terletak pada ketidakikutsertaan orang-orang cacat dalam keseluruhan proses perencanaan. Sehingga kebutuhan mereka tidak tercakup di dalam perencanaan yang dibuat. Ini disebabkan juga oleh tidak terpaparnya kebutuhan penyandang cacat. Karena itu amat diperlukan adanya identifikasi apa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh para penyandang cacat. Intervensi yang diberikan akan lebih tepat sasar jika kita sungguh mengetahui apa yang diperlukan.

Untuk memudahkan identifikasi kebutuhan itu, maka perlu dibentuk organisasi penyandang cacat. Mereka sendiri akan menentukan apa kebutuhan mereka. Semua ini tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada pihak yang memfasilitasinya. Dengan organisasi ini, para penyandang cacat bisa terwakili di dalam proses perencanaan pembangunan, memperjuangkan anggaran, dan membangun solidaritas.

Flores Pos Bentara Cacat
3 Desember 2008
Read more...

Semua Berawal dari Perencanaan

Oleh Frans Obon

KEMAJUAN pembangunan suatu daerah, salah satunya tergantung dari perencanaan. Mengutip Peter L Berger, perencanaan pembangunan itu baik atau buruk bisa terlihat dari dampak yang ditimbulkannya. Rancangan bangun pembangunan yang rasional, objektif, dan tepat sasar akan terlihat dari efektivitas dan efisiensi program dalam pelaksanaannya. Banyak program tidak berjalan dengan baik lantaran perencanaannya tidak tepat.

Itulah alasan mendasar sebenarnya mengapa Harian ini mengundang Kepala Bappeda Manggarai Barat Rafael Arhat untuk mendiskusikan soal perencanaan pembangunan. Bappeda adalah simpul terpenting dari perencanaan pembangunan di daerah. Manggarai Barat dipilih dalam diskusi ini hanyalah salah satu contoh locus perencanaan. Peserta diskusipun sebagian besar yang diundang adalah akademisi di perguruan tinggi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakt dan praktisi pembangunan.


Dari paparan Rafael Arhat, kita mendapatkan penegasan kembali bahwa perencanaan pembangunan yang punya efektivitas dan efisiensi yang maksimal memprasaratkan adanya perencanaan yang sistemik, bukan parsial. Dalam perencanaan sistemik seperti ini, peran kepemimpinan pada segala level menentukan. Kepemimpinan di satuan kerja perangkat daerah, misalnya akan menentukan implementasi riil dari visi, misi, dan program bupati dan wakil bupati.

Hal terpenting lain dari diskusi ini adalah perencanaan pembangunan yang holisitik tidak saja dalam pendekatannya, tetapi juga komitmen bersama dalam sebuah kawasan. Flores dan Lembata sebagai sebuah kawasan akan menjadi lebih kuat jika pemerintah-pemerintah daerah bersatu. Analogi sapu lidi digunakan untuk menggambarkan bahwa hanya dalam satu kesatuan komitmen bersama, daya tawar pemerintah daerah di Flores dan Lembata akan menjadi lebih kuat dalam konteks persaingan antardaerah di tingkat nasional.

Flores dan Lembata yang berada di periferi Republik ini akan makin melemah jika pendekatan pembangunannya tidak dibangun secara holistik. Flores dan Lembata sebagai sebuah kawasan ekonomi akan tetap terbelakang jika dibangun secara parsial. Ini sama halnya kita akan terus mengekalkan sekat-sekat primordialisme di kawasan ini.

Karenanya diskusi ini, kalau boleh dipandang sebagai rekomendasinya, adalah perlunya sebuah ajang di mana Bappeda-Bappeda di seluruh Flores dan Lembata bertemu untuk membahas lebih serius tentang membangun Flores dan Lembata sebagai sebuah kawasan ekonomi.

Perencanaan yang terpadu ini tentu saja membutuhkan komitmen politik dari pemerintah daerah. Diskusi ini adalah awal untuk memikirkan lebih serius membangun Flores dan Lembata sebagai sebuah kawasan. Dan Flores Pos memandang penting diskusi ini karena semuanya berawal dari perencanaan.

Flores Pos | Bentara | Perencanaan
Read more...

Kita Butuh Lembaga Konsultasi

Oleh Frans Obon

DALAM bulan November saja di Kabupaten Sikka, terjadi tiga kasus suami membunuh istri hingga meninggal dunia. Setelah membunuh istri dengan parang, suami mencoba membunuh diri sendiri. Namun nyawa para suami ini masih bisa diselamatkan karena mereka dilarikan ke rumah sakit oleh warga setempat. Ada beragam alasan. Ada yang dilatari oleh rasa cemburu. Yang lain karena pertengkaran yang awalnya sepele, lalu tak terkendali. Akhirnya berujung pada kematian.


Jika dilihat dari umur pelaku dan korban, rata-rata mereka berusia di atas 30-an tahun dan umur perkawinan mereka paling tinggi enam atau tujuh tahun. Dalam usia perkawinan yang relatif muda itu, terjadi krisis perkawinan yang luar biasa besarnya. Budaya damai di dalam rumah tangga sudah sirna. Budaya cinta akan kehidupan telah mati. Keluarga-keluarga muda ini tidak lagi menemukan jalan damai untuk menyelesaikan krisis rumah tangga mereka.

Krisis kehidupan rumah tangga telah melanda desa-desa kita. Ini tidak berarti dulu tidak ada suami yang membunuh istri hingga meninggal. Namun dilihat dari intesitasnya, belakangan makin meningkat. Kita saksikan bahwa makin banyak keluarga-keluarga muda berantakan lantaran suami mereka merantau ke Malaysia tanpa kabar balik. Istri-istri muda itu terpaksa menjadi orang tua tunggal dan menghidupi anak-anaknya seorang diri. Hal seperti menimbulkan krisis moral perkawinan.

Dari satu sisi extended family (keluarga besar) yang dianut dalam budaya kita memberikan keuntungan, tetapi di lain pihak merepotkan keluarga-keluarga muda dalam hal membangun keharmonisan di dalam keluarga mereka. Campur tangan mertua. Beban belis yang berat. Ongkos sosial kehidupan keluarga besar begitu menekan. Kesumpekan ini telah membuat keluarga muda ini gampang tersulut emosinya. Tidak ada lilin di ujung terowongan yang memberikan mereka sedikit cahaya agar bisa keluar dari kesulitan.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga saat ini sudah sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Kita perlu menolong keluarga-keluarga muda ini agar menyelesaikan masalah mereka dengan jalan damai.

Siapa yang bisa menolong mereka? Kita menaruh harapan besar pada reksa pastoral Gereja Katolik. Kita inginkan agar ada perhatian khusus pada masalah-masalah keluarga. Ada reksa pastoral khusus. Ada tenaga khusus yang memberi perhatian di sini.

Mungkin ada baiknya ada lembaga-lembaga yang dibangun khusus oleh Gereja Katolik dengan melibatkan psikologi-psikolog yang terampil. Memang secara tradisional dalam Gereja Katolik, pastor menjadi tempat konsultasi yang baik. Tetapi perkembangan zaman menuntut Gereja Katolik untuk melibatkan tenaga profesional di bidang konseling.
Lembaga konseling ini barangkali juga nantinya akan menjadi tempat konsultasi pasangan suami istri dari berbagai agama.

Flores Pos | Bentara | KDRT
|1 Desember 2008 |
Read more...

Banjir di Borong

Oleh Frans Obon

SETIAP tahun pada musim hujan, kali Wae Bobo di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur meluap. Menggenangi rumah-rumah penduduk. Tidak tahu berapa banyak kerugian yang diderita atau berapa banyak waktu mereka habiskan untuk memindahkan barang-barang dan peralatan rumah tangga. Berapa jam banyaknya waktu tidur mereka tersita karena harus terjaga jika banjir tiba-tiba datang. Banjir kiriman dari kampung-kampung di pedalaman. Banjir dari hutan-hutan yang telah dibabat habis. Luapan banjir akan makin besar tiap tahunnya sejalan makin gundulnya hutan dan makin bertambahnya pemukiman baru.


Dari dulu sebelum Manggarai Timur terbentuk kejadian serupa sering terjadi. Ini masalah klasik yang tak pernah diselesaikan secara tuntas. Sama seperti Reo di Manggarai, kabupaten induknya, selalu mendapat kiriman banjir dari Wae Pesi. Selalu setiap tahun penduduk Reo terbirit-birit mengungsi takut meluapnya kali Wae Pesi.

Kala itu kita mungkin beralasan bahwa masalah ini tak terselesaikan tuntas karena Manggarai Timur masih bergabung dengan Manggarai. Luas wilayah yang besar merepotkan pemerintah untuk mencari fokus penanganan masalah.

Sekarang Manggarai Timur telah terbentuk jadi kabupaten baru. Borong telah dipilih jadi ibu kota kabupaten. Meski kantor bupati dan kantor DPRD atau kantor pemerintah ada di Toka, jauh dari banjir Wae Bobo, namun penanganan banjir Wae Bobo harus tetap menjadi perhatian pemerintah. Bahkan bila perlu ke depan menjadi ukuran kinerja seorang bupati dan wakil bupati.

Masalah banjir di Wae Bobo akan menjadi masalah yang kian rumit ke depan jika dari sekarang pemerintah tidak menatanya dengan baik. Borong akan berkembang menjadi kota besar. Akan ada migrasi penduduk dari desa-desa ke Borong. Kota itu akan menjadi kota yang padat.

Pengalaman di daerah lain, daerah bantaran kali akan menjadi tempat pemukiman liar, yang membuat ruwet sistem aliran sungai. Jakarta selalu repot dengan banjir karena banyaknya warga tinggal di bantaran kali. Mumpung Borong lagi sepi penduduk. Masih belum ada pemukiman liar di bantaran kali.

Sekarang barangkali waktunya yang tepat bagi pemerintah membuat garis merah yang membingkai agar sejak awal tidak ada warga yang bermukim di bantaran kali. Pemerintah hendaknya membangun tanggul-tanggul yang kuat untuk mencegah meluasnya aliran sungai.

Tantangannya akan makin besar karena di wilayah hulu, hutan sudah habis dibabat. Kecuali kalau kita ingin menjadikan Wae Bobo proyek tahunan, maka mulai sekarang kita akan setengah-setengah menanganinya.

Flores Pos | Bentara | Banjir
| 29 November 2008 |
Read more...

Lindungi Kesehatan Masyarakat

Oleh Frans Obon

LABORATORIUM kesehatan lingkungan (Labkesling) Dinas Kesehatan Ende sedang memeriksa 72 potong daging ayam milik rumah makan Selero Minang. Dari 72 sampel tersebut, enam potong daging ayam itu di dalamnya ditemukan ulat. Daging yang telah dibumbui ditaruh di dalam mesin pendingin (frisher). Kemudian akan dijual kepada konsumen.

Kasus ini kembali membuka mata kita bahwa makanan yang kita makan sama sekali jauh dari standar keamanan dari segi kesehatan. Beberapa waktu lalu, pemerintah Kabupaten Ende dalam hal ini Dinas Kesehatan melakukan pemeriksaan di warung-warung makan dan menempelkan standar layak konsumsi di dinding beberapa rumah makan.

Konsumen tentu saja menyambut gembira langkah pemerintah yang memeriksa standar keamanan makanan dan minuman di setiap warung. Dan memberi kita pengumuman bahwa makanan dan minuman yang disediakan warung tersebut layak untuk dikonsumsi.


Namun rentang waktu yang begitu lama tampaknya melonggarkan kembali tindakan antisipatif pemerintah untuk mencegah penjualan makanan dan minuman yang jauh dari standar keamanan bagi masyarakat.

Pemerintah tidak secara rutin melakukan pengawasan. Pemerintah seakan menunggu ada laporan dari masyarakat baru bertindak. Mestinya petugas selalu ingat bahwa para pedagang makanan dan minuman di mana dan kapapun akan selalu mengikuti logika untung rugi. Dia akan berusaha meraih untung meski dengan cara manipulatif seperti tampak dalam kasus tersebut.

Kita memang akui bahwa kendala terbesar bagi kita adalah terbatasnya tenaga kesehatan yang bertugas di laboratorium kesehatan lingkungan dan petugas lapangan yang memeriksa secara rutin sampel makanan dan minuman di tiap rumah makan.

Meski tenaga kesehatan kita terbatas, melindungi masyarakat dari bahaya makanan dan minuman yang tidak layak, adalah kewajiban pemerintah. Konsekuensinya pemerintah mesti mengubah paradigma pelayanan kesehatannya untuk memberikan perhatian pada tindakan pencegahan dengan meningkatkan peran laboratorium kesehatan lingkungan, menambah kapasitas alat-alatnya, melatih dan mendidik tenaga-tenaganya agar profesional, dan menyediakan sumber daya dukung lainnya.

Selain pembenahan internal pemerintah, perlu kiranya menambah besar lagi komitmennya untuk melakukan kontrol terhadap rumah makan dan minuman untuk mencegah berbagai manipulasi yang merugikan kesehatan masyarakat. Oleh kewenangannya, pemerintah perlu menertibkan dan menindak dengan tegas semua pelaku yang merugikan kesehatan masyarakat.

Tindakan tegas itu akan melahirkan komitmen dan tanggung jawab sosial di dalam diri pedagang makanan dan minuman untuk memenuhi standar kesehatan bagi makanan dan minuman yang mereka jual. Dengan itu kita akan sama-sama berusaha melindungi kesehatan masyarakat.

Flores Pos Bentara Kesehatan
26 November 2008
Read more...

Korupsi di Birokrasi

Oleh Frans Obon

BADAN Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten Ngada, begitu juga Bawasda Nusa Tenggara Timur, dan Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya tindakan merugikan keuangan negara. Besarnya Rp5 miliar lebih. Akhir Oktober lalu, baru Rp2 miliar dana tersebut dikembalikan ke kas negara. Sisanya Rp3 miliar belum dikembalikan –bahasa birokrasinya belum ditindaklanjuti.



Kepala Bawasda Ngada L A Lowa meminta satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan para kontraktor yang mengerjakan proyek pemerintah segera menyelasaikannya. Selain birokrasi pemerintah, ada 124 kontraktor yang belum melunasi tunggakan mereka berupa pajak (PPn dan PPh), yang timbul dari denda keterlambatan pengerjaan proyek.

Korupsi di tubuh pemerintahan sekarang ini tidak saja disebabkan oleh kelemahan moral, tetapi juga sudah struktural sifatnya. Lembaga-lembaga birokrasi di pemerintahan kita sudah tercemari oleh korupsi baik secara kualitas maupun kuantitas. Namun meskipun begitu, amat sulit kasus-kasus korupsi ini diselesaikan secara hukum.

Temuan Bawasda seperti ini lebih sebagai alat kontrol di kalangan pemerintah terhadap penggunaan keuangan negara. Karena hanya alat kontrol internal, maka kasus-kasus korupsi di birokrasi sering tidak diselesaikan di pengadilan, melainkan uangnya dikembalikan saja ke kas negara. Dalam beberapa hal, temuan Bawasda dipakai oleh bupati untuk kepentingan politiknya.

Menurut undang-undang, suatu tindakan korupsi masuk dalam perangkap hukum jika sudah memenuhi tiga elemen dasar ini yakni jika perbuatan itu secara melawan hukum memperkaya diri, menyalahgunakan kewenangan/jabatan, dan merugikan negara. Meski sudah memenuhi syarat ini, kasus korupsi di tubuh pemerintahan belum tentu dibawa ke pengadilan.
Korupsi di tubuh birokrasi merupakan pelanggaran oleh negara. Kita memiliki perangkat hukum, namun semua itu tidak mampu menghentikan korupsi di tubuh pemerintah. Inilah kelemahan umum negara-negara berkembang di mana pemerintah melanggar hukum yang diciptakannya sendiri.

Di negara-negara maju, penegakan hukum berjalan karena birokrasinya berbasis pada prestasi, kelembagaan politik yang kompetitif, pemerintahannya transparan, dan kontrol masyarakat sipil dan media massa yang kuat. Semua in tidak kita temukan di negara-negara berkembang.

Perselingkuhan birokrasi dan pengusaha (kontrator) dalam tender proyek-proyek pemerintah bukanlah hal baru. Birokrasi dan kontraktor saling berbagi keuntungan dalam proyek pemerintah.

Mentalitas proyek di birokrasi ikut menumbuhsuburkan praktik-praktik kolusi. Akibatnya terjadi lingkaran setan korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan birokrasi pemerintah dan kontraktor. Semua itu cermin bening yang memantulkan wajah birokrasi kita.

Flores Pos | Bentara | Korupsi
| 24 November 2008 |

Read more...

Rabies Masih Jadi Momok

Oleh Frans Obon

Korban meninggal akibat digigit anjing rabies di Sikka kembali terjadi. Selasa pekan lalu, seorang anak berusia 10 tahun bernama Ignatius Molo meninggal dunia. September lalu, warga Bola bernama Apolonaris Rehing meninggal karena rabies.


Data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sikka menyebutkan, selama 11 bulan terakhir sejak Januari 2008 terjadi 72 kasus gigitan. Dinas telah mengirim 21 specimen otak ke Maros, Sulawesi Selatan. Pemerintah telah memberi vaksin 21.944 ekor hewan penular rabies dari total populasi 30.956. Anjing yang telah divaksin 21.475, kucing 448 ekor, dan kera 71 ekor.

Kasus rebies pertama terjadi di Flores Timur pada tahun 1997. Untuk beberapa tahun lamanya, rabies tidak menyebar begitu cepat. Tetapi masuk tahun 2000 rabies melanda Flores seluruhnya. Puluhan korban jiwa berjatuhan. Setelah itu korban menurun. Sampai sekarang kasus gigitan masih terbilang tinggi sejalan dengan makin meningkatnya populasi hewan penular rabies, terutama anjing.

Rabies atau penyakit anjing gila disebabkan virus rabies yang menyebabkan gangguan pada susunan saraf pusat. Setelah masa inkubasi selama 10 hari hingga 7 bulan, orang yang digigit mengalami gejala-gejala demam ringan atau sedang, sakit kepala, tidak ada nafsu makan, lemah, mual, dan perasaan abnormal pada daerah sekitar gigitan.

Kemudian diikuti gejala hipertensi dan hipereksistasi mental dan neuromuskular, kaku kuduk dan kejang-kejang otot-otot yang berfungsi dalam proses menelan dan pernafasan. Sedikit rangsangan berupa cahaya, suara, bau ataupun sedikit cairan dapat menimbulkan refleks kejang-kejang tersebut. Selanjutnya berkembang menjadi kekejangan umum dan terakhir kematian.

Pada hewan penular rabies, ada tiga fase yakni fase prodormal di mana hewan mencari tempat dingin dan menyendiri, tapi dapat menjadi ganas dan nervus, pupil mata meluas dan sikap tubuh kaku (tegang). Fase ini berlangsung 1-3 hari. Fase kedua adalah eksitasi di mana hewan jadi ganas, menyerang siapa saja dan makan barang-barang apa saja. Mata jadi keruh, selalu terbuka, gemetaran. Berikutnya fase paralisa di mana hewan alami kelumpuhan pada semua bagian tubuh dan terakhir kematian.

Mengapa kita sebutkan gejala rabies pada hewan penular maupun pada manusia yang digigit agar masyarakat mengetahui dengan jelas. Apa yang kurang dalam penanganan rabies di Flores dan Lembata adalah tidak adanya pendidikan kepada masyarakat mengenai rabies.

Sampai sekarang banyak petani-petani kita di desa, bahkan masih banyak orang di kota, memelihara anjing tanpa memperhatikan pemeliharaan yang aman dari rabies. Pertama-tama itu disebabkan karena tidak adanya pengetahuan yang cukup dan mengendurnya komitmen pemerintah. Tidak adanya pengetahuan yang cukup dan kendurnya komitmen pemerintah, menjadi alasan mendasar mengapa rabies masih jadi momok di Flores.

Flores Pos | Bentara | Rabies
| 22 November 2008 |
Read more...

Katakan Cukup untuk Bencana

Oleh Frans Obon

KOMISI Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Ordo Fratrum Minorum (OFM) bersama kelompok Manggarai di rantauan Jakarta, menggelar diskusi bersama mengenai tambang besar terbuka di Manggarai. Kelompok Tenang Tanage (Mengenang Tanah Air) ini menyerukan agar segera menghentikan tambang besar terbuka di Manggarai karena tidak saja menganggu ekosistem, tetapi juga sebagai bentuk perampasan terhadap hak-hak rakyat setempat.


Diskusi ini merupakan bentuk kepedulian terhadap tanah Manggarai dan dilihat sebagai proses peradaban besar di masa depan, yakni proses penyadaran massal dan komprehensif di setiap komunitas basis di Manggarai. Proses pencerahan di komunitas basis akan membangunkan kesadaran masyarakat setempat mengenai bencana ekologis di masa depan.

Masalah tambang karenanya bukan saja perkara ekologis, melainkan perkara iman dan tuntutan moral. Secara teologis, kita memuji Tuhan di atas tanah tempat kita berpijak. Kepedulian masyarakat akan tambang itu didasarkan pada keprihatinan iman kristiani. Karenanya masalah tambang adalah juga perkara kemanusiaan. Demi mengejar mitor kesejahteraan rakyat, pemerintah bersekutu dengan investor untuk membuka usaha tambang besar terbuka di Manggarai. Dalam proses penciptaan kesejahteraan ini, rakyat diabaikan. Rakyat tidak jadi subjek melainkan objek. Begitulah diskusi kelompok Tenang Tanage itu.

Yang paling menarik dari sini adalah munculnya kepedulian warga Manggarai rantauan terhadap masalah ekologi di Manggarai. Ada satu keprihatinan bersama bahwa katakan cukup terhadap bencana ekologis yang terjadi di Manggarai.

Memang kita akui bahwa pada masalah tambang, warga rantauan berhadapan dengan pemerintah dan pemodal. Maka mudah mereka mengambil posisi berhadapan dengan pemerintah dan pemodal. Tetapi ketika bencana ekologis yang ditumbulkan oleh makin merusaknya hutan lindung di Manggarai, warga rantauan bersikap mendua. Karena mereka berhadapan dengan rakyat, berhadapan langsung dengan ayah dan ibu mereka, saudara dan saudari mereka. Maka amat sulit kelihatannya ketika berhadapan dengan masalah hutan, di mana penduduk setempat tidak mau peduli dengan masalah hutan. Mengubah hutan lindung yang ditetapkan pemerintah menjadi kebun. Mereka berada dalam posisi dilematis.

Yang ingin kita tegaskan di sini adalah hendaknya lawa Manggarai melakukan proses penyadaran di setiap komunitas basis untuk mengatakan tidak terhadap semua tindakan yang menimbulkan bencana ekologi. Ya hutan, ya tambang. Dengan mengaca pada bencana bebera waktu lalu, orang Manggarai hendaknya sama-sama satu kata: cukup untuk bencana. Cukup babat hutan. Tolak tambang.

Flores Pos | Bentara | Bencana
| 21 November 2008 |
Read more...

Berjaga-jaga dengan Flu Burung

Oleh Frans Obon

DIREKTUR Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Maumere dokter Asep Purnama memberitahu kita bahwa dia sedang mengurus segala sesuatu yang perlu untuk menyiapkan RSUD TC Hillers Maumere jadi rumah sakit rujukan penanganan kasus flu burung (avian influenza) di Flores. Sampai sekarang kita belum temukan kasus flu burung di Flores.


Penyakit flu burung merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus influenza yang menyerang burung/unggas/ayam. Salah satu tipe yang perlu diwaspadai adalah yang disebabkan oleh virus influenza dengan kode genetik H5N1 yang selain dapat menular dari burung ke burung ternyata dapat pula menular dari burung ke manusia. Penyakit pada hewan ini disebabkan virus flu burung tipe A. Masa inkubasi virus flu burung adalah 2-10 hari setelah terpapar. Akan tetapi, sebagian besar kasus menunjukkan gejala setelah 3-5 hari setelah terpapar oleh virus tersebut.

Gejala-gejala awal flu burung seringkali sama dengan influenza musiman manusia (batuk, sakit tenggorokan, demam tinggi, sakit kepala, sakit otot, etc). Penyakit ini dapat berkembang menjadi pneumonia dimana mungkin akan terjadi, kekurangan angin, susah bernafas dan gagal pernafasan. Virus ini dapat ditemukan dalam feces dan sekresi pernafasan burung dan unggas. Sebagian besar kasus manusia tertular akibat kontak langsung dari burung/unggas yang sakit, walaupun kontaminasi lingkungan oleh virus tersebut dapat juga sebagai sumber penularan.

Penanganan kasus flu burung pada manusia memerlukan upaya khusus yang meliputi deteksi kasus, penatalaksanaan klinis, pencegahan infeksi nosokomial, dan pelacakan kontak. Salah satu hal terkait dengan upaya penanggulangan kasus flu burung adalah sistem rujukan pasien dan pemeriksaan laboratorium diagnostik. Departemen Kesehatan telah menetapkan 44 RS Rujukan di seluruh Indonesia. Agar sistem rujukan kasus flu burung dapat berjalan dengan baik, perlu disusun dan disepakati suatu sistem pelayanan rujukan di daerah/wilayah administrasi yang saling berbatasan (sistem rujukan lintas batas).

Tujuannya adalah sebagai pedoman bagi petugas medis, paramedis termasuk tim surveilens dan non medis dalam penanganan kasus yang diduga flu burung di Flores.

Tujuan lainnya adalah memberikan petunjuk dan pedoman tentang hal hal yang harus dilakukan bila ada laporan tentang flu burung pada manusia; memberikan petunjuk tentang alur pemeriksaan sebelum merujuk kasus tersangka flu burung; dan memberikan petunjuk dan pedoman tentang tatacara merujuk pasien ke rumah sakit rujukan.

Sampai sekarang belum ada kasus flu burung di Flores. Tetapi tidak berarti kita berpangku tangan. Kita mesti kerja keras untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Kita perlu berjaga-jaga.

Flores Pos | Bentara | Flu Burung
|20 November 2008 |
Read more...

Prihatin dengan Kasus Bugalima

Oleh Frans Obon

WARGA Desa Ilepati menyerbu lahan pertanian warga Desa Bugalima, Kecamatan Adonara Barat, Flores Timur. Padahal sudah 32 tahun lamanya, warga Desa Bugalima mengerjakan lahan tersebut dan di atas lahan telah ditanami berbagai tanaman komoditas. Bagusnya adalah warga Bugalima tidak ingin menggunakan kekerasan menghadapi konflik tanah pertanian tersebut, meski warga Ilepati mempersenjatai diri mereka dengan parang, tombak, panah, dan perisai.


Penyerobotan ini dipicu oleh sebuah klaim sejarah masa lalu bahwa lahan yang dikelola warga Bugalima adalah milik Ilepati. Meski telah dikelola 32 tahun dan telah menikmati hasilnya, Bugalima terpaksa menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka terlibat dalam konflik tanah pertanian dengan Ilepati. Nyawa mereka juga terancam.
Kalau kita melihat riwayat konflik pertanahan di Flores umumnya, sebagian besar didasarkan pada sejarah masa lampau.
Sejarah yang tidak tertulis itu menjadi alasan pokok sebuah desa atau kampung menyerbu lahan pertanian kampung atau desa lainnya. Masalahnya adalah sejarah seperti ini tentu saja didasarkan pada riwayat lisan. Tidak tertulis. Akibatnya versi bervariasi. Versi siapa yang dipercaya, juga susah. Karena bukti-bukti historis lisan ini besar kemungkinan diputarbalikkan.

Penyerobotan yang disertai dengan ancaman kekerasan ini menjadi sulit mencapai titik temu seandainya pihak korban tidak melakukan perlawanan dengan cara kekerasan. Pihak penyerobotan sudah dengan tahu dan mau serta menggunakan kekerasan untuk mengambil lahan sengketa.

Kalau tidak ada perlawanan dengan cara kekerasan, maka pihak penyerobotan akan tetap bertahan dan bercokol. Sampai kapapun. Bahkan mereka merasa sudah menang dan di atas angin. Kalau seandainya diselesaikan lewat jalur hukum, maka pihak penyerobot yang sudah menduduk tanah sengketa agak sulit meninggalkan lahan tersebut, yang juga telah mereka jadikan kebun.

Yang kita harapkan sekarang adalah peran pemerintah. Pengalaman di beberapa daerah, seperti Manggarai misalnya, karena tidak adanya sikap tegas pemerintah, maka kasus seperti ini berlarut-larut. Pihak penyerobot tetap mengelola lahan sengketa, membabat habis tanaman milik warga sebelumnya.

Sikap diam pemerintah mungkin memberi citra bahwa pemerintah tidak mau konflik dengan rakyatnya dan citra pemerintahan menjadi baik di mata rakyat. Perhitungan politis seperti ini tentu saja racun bagi para petani.

Dalam kasus Ilepati, kita mendesak pemerintah Flores Timur agar prakarsa yang dibangun pemerintah dengan membentuk tim penyelesaian konflik berjalan dan bekerja maksimal. Kasus seperti ini merupakan sebuah pelanggaran berat terhadap hak-hak ekonomi masyarakat. Hanya pemerintah yang bisa menyelesaikan kasus ini.

Flores Pos | Bentara | Tanah
| 19 November 2008 |
Read more...

Ubah Perilaku Masyarakat

Oleh Frans Obon

PERINGATAN Hari Kesehatan Nasional tahun ini menekankan pentingnya pelayanan kesehatan yang berkualitas, sekaligus mengubah atau memberdayakan masyarakat agar perilaku masyarakat berubah sehingga menciptakan pola dan perilaku hidup yang sehat. Penekanan pada tindakan preventif dalam mengelola kesehatan masyarakat adalah sebuah cara pandang baru.


Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menjadikan tahun 2008 sebagai Tahun Sanitasi Internasional. Keputusan ini didasarkan pada fakta bahwa kasus-kasus penyakit berbasis lingkungan belakangan ini makin meningkat. Konsekuensinya, pelayanan kesehatan tidak difokuskan pertama-tama pada tindakan kuratif dan rehabilitasi, melainkan pada tindakan preventif. Dengan kata lain, menghadapi kasus-kasus penyakit berbasis lingkungan diperlukan perubahan paradigma pembangunan kesehatan dari tindakan kuratif dan rehabilitasi ke tindakan preventif.

Perubahan paradigma pelayanan kesehatan ini memberikan konsekuensi bahwa orientasi pembangunan kesehatan adalah masyarakat. Selama ini pemerintah membangun sarana dan prasarana kesehatan. Investasi ini penting dilakukan sebagai kondisi di mana pelayanan kesehatan bisa berjalan maksimal.

Tetapi sesungguhnya tidak kalah penting bahwa masyarakat diberdayakan sehingga program bidang kesehatan bisa berkelanjutan (sustaniable). Masalah terbesar selama ini adalah keberlanjutan program pembangunan kesehatan dipertaruhkan lantaran karena masyarakat yang menjadi sasaran program tidak diberdayakan. Karena masyarakat tidak dibangkitkan daya dan kemampuan mereka, maka pembangunan sarana dan prasarana kesehatan mubasir.

Sesungguhnya masalah ini terjadi karena dalam proses perencanaan pembangunannya, masyarakat tidak dilibatkan. Undang-Undang Kesehatan No. 23/1992, Bab VII pasal 71 menegaskan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kesehatan dan seluruh sumber daya yang mereka miliki.

Pelibatan masyarakat dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan memiliki efektivitas dan keberlanjutan. Karenanya amat diperlukan keterlibatan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Keterlibatan kelompok perempuan perlu digarisbawahi karena mereka menjadi komponen yang paling rentan bila pelayanan sarana kesehatan tidak memadai.

Dari berbagai pengalaman, perubahan perilaku hidup masyarakat merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Karenanya peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun ini harus menjadi momentum untuk mengubah paradigma pelayanan kesehatan.

Flores Pos | Bentara | Kesehatan
| 18 November 2008 |
Read more...

Labuan Bajo Didera Masalah Air Minum

Oleh Frans Obon

LABUAN BAJO, ibu kota Manggarai Barat masih didera masalah air minum bersih. Beberapa waktu lalu, para turis yang tergabung dalam kegiatan sails international, mengeluh karena toilet umum di Labuan Bajo tidak hanya kotor, tetapi juga air tidak tersedia. Keluhan yang sama muncul lagi. Air tangki yang dibeli warga diambil dari air got, sehingga warga yang meminumnya rentan dengan berbagai penyakit. Karena air yang mengalir di got itu berasal dari aliran air sawah yang sudah terkontaminasi dengan pupuk dan zat kimia lainnya.


Masalah ini memang dapat kita tilik dari soal etika. Apakah baik atau buruk dari segi etika atau segi moral seseorang mendapatkan keuntungan dengan mendatangkan bahaya bagi orang lain? Bolehkah penjual air tangki ini mendapatkan keuntungan dari penjualan air yang tidak layak minum atau membahayakan kesehatan konsumen? Dari sudut etika atau segi moral, sama sekali tidak dibenarkan secara moral apabila seseorang mengambil untung secara finansial dengan mengorbankan kesehatan orang lain.

Namun di pihak lain hampir tidak ada mekanisme yang dapat memastikan bahwa air minum yang dibeli oleh warga dari penjualan tangki air itu layak atau tidak dipakai. Berita bahwa tangki menjual air dari got sudah lama diketahui warga. Ketiadaan mekanisme pengujian layak atau tidaknya air itu diminum atau digunakan membuat kita semua dibawa ke suasana ketidaktahuan.

Untuk mengatasi masalah ini, kita harapkan pemerintah daerah atau dinas terkait lainnya melakukan pengujian layak tidaknya air itu digunakan oleh warga. Kalau seandainya direkomendasikan bahwa air dari got itu tidak layak, maka pemerintah dengan kewenangan yang dimiliknya melarang semua pemilik tangki air untuk mengambil air dari got itu dan menggantikannya dari sumber lain. Maka jelas di sini pemerintah melakukan tindakan preventif. Pemerintah menjalankan tugas dan kewajibannya dengan sungguh-sungguh.

Kalau pemerintah membiarkan situasi ini berlangsung terus dan tidak melakukan kontrol terhadap kualitas air yang diminum, sudah dapat dipastikan bahwa pemerintah hendak mempertaruhkan kesehatan warganya.

Sudah hampir lima tahun lebih Manggarai Barat berdiri sebagai kabupaten otonom. Tapi dalam kurun waktu itu pula, pemerintah daerah tidak beres-beres membangun jaringan air bersih bagi warga Kota Labuan Bajo. Padahal ketersediaan air bersih dan berkualitas menjadi salah satu prasyarat dasar bagi pariwisata.

Pemerintah Manggarai Barat sebenarnya menjadikan jaringan air minum bersih ini salah satu prioritas utamanya. Sekaligus menjadi alat ukur seorang pemimpin berhasil atau tidak.

Flores Pos | Bentara | Air Minum
| 17 November 2008 |

Read more...

Tumpang Tindih di TNK

Oleh Frans Obon

KEPALA Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) Tamen Sitorus mulai gusar. Dia bilang kawasan TNK di Manggarai Barat di ambang kehancuran, lantaran tiba-tiba ada masyarakat setempat mengantongi ijin usaha di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan mereka punya sertifikat. Semua itu diterbitkan oleh pemerintah daerah.


Karena mengantongi sertifikat sebagai bukti hak milik, maka tidak ada alasan untuk melarang warga menjual hak miliknya atau mengalihkan hak miliknya kepada orang lain. Apalagi pertumbuhan pariwisata Manggarai Barat yang prospeknya cukup bagus. Spekulan tanah bisa meraih keuntungan dari sini.

Beberapa waktu lalu, seperti juga di tempat lain, timbul juga masalah posisi masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan taman nasional. Masyarakat lokal perlu dilibatkan dalam pengelolaan kawasan sehingga mereka tidak menjadi penonton di tempat mereka sendiri.

Campur baur masalah-masalah ini dalam pengelolaan TNK menimbulkan pesimisme. Kecemasan Tamen Sitorus beralasan.

Pertama, jelas sekali terlihat bahwa sama sekali tidak ada koordinasi di tingkat pemerintah, terutama dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kewenangan pengelolaan TNK yang langsung di bawah pemerintah pusat membuat pemerintah daerah seringkali tidak ambil pusing dengan pengelolaan kawasan. Akibat paling serius dari ini adalah lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kawasan. Karena pemerintah daerah tidak punya kewenangan dalam penentuan pengelolaan kawasan.

Pemerintah daerah hanya mendapat limbah persoalan jika masyarakat lokal memprotes ketidakterlibatan mereka dalam pengelolaan. Atau kalau masyarakat lokal merambah kawasan, maka pemerintah daerah diminta membantu menertibkannya. Hal itu terlihat pula ketika ada isu penjualan pulau, pemerintah daerah sepertinya tidak tahu sama sekali masalahnya, alias terkejut.

Kedua, tumpang tindih itu dibuat oleh pemerintah sendiri. Penyebabnya adalah lemahnya koordinasi di tingkat instansi pemerintah. Badan Pertanahan Nasional berjalan sendiri. Pemerintah daerah menerbitkan ijin tanpa memperhatikan peraturan mengenai kawasan taman nasional. Semua ini mencerminkan tidak pedulinya pemerintah daerah dalam memelihara kawasan yang telah dikonservasikan.

Jika pemerintah daerah dan BTNK punya komitmen bersama untuk memelihara kawasan Taman Nasional Komodo, maka sekaranglah saatnya menata kembali semua kerancuan ini. Mengakhiri semua kerancuan dan tumpang tindih itu, diperlukan sikap dan tindakan tegas dari pemerintah.

Flores Pos | Bentara | TNK | 15 November 2008 |
Read more...

Membangun Pertanian Flores

Oleh Frans Obon

PARA petani dan orang-orang yang peduli dengan nasib para petani sudah tiga kali menggelar pertemuan yang diberi nama Musyawarah Besar (Mubes), berlangsung di Maumere, Ende, dan Bajawa. Kali ini Mubes yang melibatkan para petani dari Flores dan kepulauan itu digelar di Labuan Bajo, ibu kota Manggarai Barat.

Pater Alex Ganggu SVD dari Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace, and Integration of Creation/JPIC) Serikat Sabda Allah (Divine Word Missionary Society) pada hari pertama pertemuan tiga hari ini (20-23 Oktober) mengajak para peserta untuk mengingat kembali rekomendasi-rekomendasi yang telah dihasilkan dalam tiga pertemuan sebelumnya. Hal ini penting untuk dilihat apakah rekomendasi-rekomendasi itu bisa diimplementasikan atau tidak.



Bagi kita, hal ini perlu direspon dengan serius oleh peserta dengan beberapa alasan. Pertama, sungguhkah rekomendasi itu lahir dari masalah petani kita atau sebuah transfer ide-ide global yang gagal dicarikan relevansinya dalam konteks kita.

Sudah menjadi kebiasaan umum, orang-orang kita yang lompat dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya hanya mengambil oper gagasan-gagasan besar tanpa mengetahui persis konteks dan masalah lokal. Dampaknya terlihat dalam rekomendasi yang diberikan. Banyak kali rekomendasi tidak bisa dioperasionalkan secara konkret. Karena itu rekomendasi-rekomendasi dari pertemuan-pertemuan yang namanya besar seperti ini tidak dapat terimplementasikan dengan baik.

Kedua, pertanian subsisten seperti Flores dan Lembata dililit berbagai masalah seperti sumber daya manusia petani, teknologi terbatas, luas lahan pertanian terbatas, akses pasar terbatas, akses finansial terbatas, dan segala macam masalah lainnya.

Keliru mendiagnosa masalah, keliru pula mencari jalan keluarnya. Sungguhkah masalah yang diangkat dalam pertemuan itu dirasakan sebagai masalah petani sendiri, atau bahan-bahan yang beredar dalam pertemuan disesuaikan saja dari bahan-bahan dari pertemuan di tempat lain? Dengan kata lain, masalah-masalah yang diangkat sungguh masalah petani Flores.

Ketiga, kelompok aksi. Untuk mengefektifkan hasil pertemuan ini, apapun namanya, kita perlu membentuk kelompok aksi. Sebuah kelompok yang sungguh menjadi dinamisator bagi bekerja efektifnya rekomendasi ini. Kelompok aksi ini perlu membuka akses ke pemerintah, ke berbagai multi stakeholder yang terkait dengan masalah petani, akses ke finansial, dan akses ke pasar. Tanpa ada satu kelompok aksi ini, rekomendasi itu akan tetap jadi bahan beku di arsip-arsip kita.

Keempat, konflik lahan antara para petani adalah masalah serius yang dihadapi para petani kita. Dengan menggunakan pembenaran kekuasaan adat masa lalu, satu kampung bisa mengklaim dengan begitu saja lahan pertanian di kampung lainnya. Dalam pertikaian ini, tidak banyak pihak peduli.

Dengan ini sebenarnya membangun pertanian Flores berarti memahami dengan tepat masalah petani di daerah ini. Karena itu kita mendorong Mubes petani ini sebagai ajang membahas masalah konkret petani kita, sehingga solusinya dapat terimplementasikan.

Flores Pos Bentara Mubes
22 Oktober 2008
Read more...